Ketua Umum-Mpu Suhadi Sendjaja sedang memberikan penjelasan tentang konsep ketuhanan agama Buddha kepada Penyidik AKBP Hujra Soumena, S.I.K
Pada tanggal 16 November 2017, Ketua Umum NSI-Mpu Suhadi Sendjaja diwawancarai oleh Penyidik AKBP Hujra Soumena, S.I.K dari Bareskim Porli sebagai saksi ahli Agama Buddha untuk penyelidikan tentang dugaan tindak pidana dimuka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan dan atau diskriminasi ras dan etnis dan atau setiap orang dengan sengaja tanpa hak menyebarkan informasi yang bertujuan untuk menimbulkan kebencian atau permusuhan dan atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas Sara, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA) yang diduga dilakukan oleh Dr. Eggi Sudjana, SH.,MH.
Dalam Kesempatan ini Mpu Suhadi Sendjaja menyampaikan menyampaikan Konsep Ketuhanan dalam ajaran Buddha yang sebenarnya seperti apa. Agama Buddha merupakan agama kesadaran, Buddha merupakan manusia yang sadar, dan semua Orang bisa menjadi Buddha karena semua orang memiliki kesadaran di dalam jiwanya. Ketuhanan agama Buddha adalah Hukum Sebab Akibat (karma) itu sendiri. Siklus Lahir-Tua- Sehat-Meninggal. Menyadari Hukum Sebab Akibat dan menjaga keselarasan serta keseimbangan di dalam kehidupan. Di dalam agama Buddha tidak ada penciptaan jadi semua itu adalah proses lahir-Tua- Sehat-Meninggal dan semua itu tercipta tidak ada yang menciptakan.
Berikut ini beberapa pertanyaan yang diajukan kepada Ketua Umum NSI yang ditunjuk sebagai Saksi Agama Buddha :
Kemudian dalam kitab suci Agama Buddha aliran Niciren Syosyu yaitu Saddarmapundarika-sutra dijelaskan “makna yang tak terhingga dimana Hyang Buddha antara lain membabarkan bahwa makna-makna yang tidak terhigga bersumber dari hukum tunggal.” Jadi di dalam Agama Buddha Tuhan itu adalah Hukum. Tuhan itu Dharma. “Dengan sabda didalam sutra tersebut Hyang Buddha ingin mengungkapkan bahwa segala kejadian dan segala didalam alam semesta bersumber dari Yang Maha Esa dan Hyang Buddha menyebutnya sebagai Hukum Tunggal”. Ini adalah kutipan dari pedoman P4 dari umat Buddha Departemen Agama tahun 1983/1984.
Kemudian dalam buku BUDDHISM: A Non-Theistic Religion dikatakan bahwa :
“All morally positive or negative actions are subject to it, so that each good action reaps its own rewards and each evil meets its punishments” (hal.49) yang artinya “Semua perbuatan, baik itu positif ataupun negatif berjalan sesuai dengan hukum sebab-akibat, sehingga setiap kebaikan akan berakibat kebajikan dan setiap kejahatan akan melanggar hukum dan menjadi karma buruk”.
“The Cosmic Law in Buddhism is often similar to the personal God of Theist religions, for it conditions the origin, existence, and end of the world, rewrds good deeds and punishes evil ones” (hal.52). Yang artinya “Hukum kosmis/alam semesta dalam Buddhisme kerap serupa dengan sosok Tuhan dalam agama-agama teis, yang mengondisikan asal-mula terbentuknya dunia, eksistensinya, dan kiamat, memberikan pahala pada kebaikan dan menghukum kejahatan.”
Jadi memang dalam Agama Buddha Tuhan itu bukan sosok. Beda dengan agama Islam dan Kristen. Tetapi di dalam Agama Buddha Tuhan itu adalah Hukum itu sendiri. Jadi kita Non-teis. Kita bukan ateis tapi non-teis. Sedangkan agama Islam, Kristen agama teis. Sedangkan pengertian Tuhan dalam KBBI: “Sesuatu yang diyakini, dipuja, dan disembah oleh manusia sebagai yang Mahakuasa, Mahaperkasa, MahaEsa, dsb.”
Kamus Buddha Dharma Mahayana menjelaskan mengenai Buddha Amitabha bahwa :
“Buddha Amitabha, dengan gelar Buddha Yang Bercahaya Tidak Terbatas atau Buddha Yang Berkehidupan Tak Terbatas, mencapai ke-Buddha- an atau Samyak-Sambuddha atau kesadaran Agung-Nya pada suatu kalpa yang tidak terhitung. Sukhavativyuha-sutra (teks panjang) menjelaskan bahwa Beliau adalah Buddha yang Transendental atau di luar pengetahuan dan pengalaman manusia. Buddha yang telah mengatasi alam Duniawi, di hormati dan di puja di India, Nipel, Tibet, dan Mongolia sebagai salah satu dari Panca-Dhyani-Buddha. Buddha Amitabha dianggap sebagai penjelmaan dari Dharma-kaya, mengatasi segala persaingan dan pada-Nya menyerap semua atribut kesempurnaan. Beliau memancarkan kebijaksanaan dan welas asih yang tiada terbatas. Beliau merupakan transenden tertinggi dan tetap ada sepanjang waktu. Pada-Nya realitas Absolut ber-manifestasi sebagai Yang Teragung dari Welas asih yang tak terbatas.” (hal.379)
Dalam Saddarmapundarika-sutra Bab VII “Rasa Taat dan Bhakti Di Jaman Dahulu” juga menjelaskan tentang Amitabha bahwa beliau bertugas di dunia sebelah barat dan Sakyamuni tugasnya di dunia Saha ini. Buddha Sakyamuni menjelaskan “Dulu sebelum jadi Buddha di dunia, sebenarnya beliau sudah mencapai kesadaran Buddha sama-sama dengan Amitabha. Amitabha sebagai pangeran yang ke 9, saya sebagai pangeran yang ke 16.”
Jadi kalau Eggy bicara orang Buddha hanya menyebut Amitabha, itu dilakukan antara lain oleh sekte/aliran Agama Buddha Mahayana Tanah Suci. Menyebutnya juga bukan Amitabha, itu depannya harus ada Namu. Namu Amitabha yang artinya ingin memanunggalkan diri dengan Amitabha. Jadi semua orang Buddha tidak semuanya menyebut Amitabha karena agama Buddha memiliki banyak Aliran/sekte. Kalau dalam sekte Mahayana Niciren Syosyu menyebutnya Nammyohorengekyo. Namu kepada Saddharmapundarika-sutra.
Konsep Ketuhanan Yang Maha Esa di Agama Buddha adalah Trikaya yang Ekakaya, Ekakaya yang Trikaya (Nirmanakaya, Sambhogakaya, Dharmakaya). Dalam Buddhisme Niciren Syosyu, konsep Ketuhanan Yang Maha Esa ini terwujud dalam Mandala Pusaka Pemujaan Gohonzon dari Sandaihiho,di tengah-tengah Gohonzon, tertulis Namu Myohorengekyo-Niciren. Namu Myohorengekyo-Niciren menunjukkan konsep Trikaya yang Ekakaya. Niciren menunjukkan aspek Nirmanakaya, Buddha Masa Akhir Dharma yang membabarkan dan menyebarluaskan Hukum. Dan Hukum (dharma) yang dibabarkan adalah Nammyohorengekyo. Jadi tidak benar kalau dibilang Agama Buddha itu tidak ada Ketuhanan Yang Maha Esa.
Jawab : Di dalam agama Buddha memang kita tidak menyebut Tuhan sebagai person. Sila pertama dalam pancasila itu bunyinya bukan Tuhan yang Maha Esa, namun Ketuhanan Yang Maha Esa Yang Maha Esa. Sebetulnya itu sangat pas dengan agama Buddha karena agama Buddha tidak mempersonifikasikan tetapi itu adalah sifat-sifat.
Konsep Ketuhanan Yang Maha Esa, Yang Maha Esa yang dimaksud dalam Sila pertama dari Pancasila yaitu kalimat pada sila pertama ini tidak lain enggunakan istilah dalam bahasa Sansekerta ataupun bahasa Pali. Jadi kitab-kitab suci agama Buddha ada dua bahasa dari India itu, Pali dan Sansekerta. Kalau yang Mahayana itu pakai bahasa sansekerta. Banyak diantara kita yang salah paham mengartikan makna dari sila pertama ini.Baik dari sekolah dasar sampai sekolah menengah umum kita diajarkan bahwa arti dari Ketuhanan Yang Maha Esa, Yang Maha Esa adalah Tuhan Yang Satu, atau Tuhan yang jumlahnya satu. Jika kita membahasnya dalam bahasa Sansekerta ataupun Pali, Ketuhanan Yang Maha Esa, Yang Maha Esa bukanlah Tuhan yang bermakna satu. Ketuhanan Yang Maha Esa berasal dari kata tuhan yang diberi imbuhan berupa awalan ke- dan akhiran –an. Penggunaan awalan ke- dan akhiran –an pada suatu kata dapat merubah makna dari kata itu dan membentuk makna baru. Penambahan awalan ke- dan akhiran –an dapat memberi makna perubahan menjadi antara lain: mengalami hal, sifat-sifat.
Kata Ketuhanan Yang Maha Esa yang beasal dari kata tuhan yang diberi imbuhan ke- dan –an bermakna sifat-sifat tuhan. Dengan kata lain Ketuhanan Yang Maha Esa berarti sifat-sifat tuhan atau sifat-sifat yang berhubungan dengan tuhan. Kata Maha berasal dari bahasa Sansekerta atau Pali yang bisa berarti mulia atau besar (bukan dalam pengertian bentuk namun mencangkup semua). Kata Maha bukan berarti sangat. Kata “esa” juga berasal dari bahasa Sansekerta atau Pali. Kata “esa” bukan berarti satu atau tunggal dalam jumlah. Kata “esa” berasal dari kata “etad” yang lebih mengacu pada pengertian keberadaan yang mutlak atau mengacu pada kata “ini” (this- Inggris). Sedangkan kata “satu” dalam pengertian jumlah dalam bahasa Sansekerta atau bahasa Pali adalah kata “eka”. Jika yang dimaksud dalam sila pertama adalah jumlah Tuhan yang satu, maka kata yang seharusnya digunakan adalah “eka” bukan kata “esa”.
Ketuhanan Yang Maha Esa Yang Maha Esa dari Konteks pancasila dari perspektif/sudut pandang agama Buddha memang pas sekali dengan ini bahwa arti dari Ketuhanan Yang Maha Esa Yang Maha Esa bukanlah berarti Tuhan Yang Hanya Satu, bukan mengacu pada suatu individual yang kita sebut Tuhan yang jumlahnya satu. Tetapi sesungguhnya Ketuhanan Yang Maha Esa Yang Maha Esa berarti sifat-sifat Luhur atau Mulia Tuhan yang mutlak harus ada. Jadi yang ditekankan pada sila pertama dari Pancasila ini adalah sifat-sifat luhur atau mulia dari Tuhannya. Jadi, Ketuhanan Yang Maha Esa Yang Maha Esa dalam agama Buddha adalah hukum yang berlaku secara universal di dalam alam semesta ini yang bersifat mutlak.
Dalam ajaran Buddha melihat segala sesuatu tidak pernah dalam perspektif yang buruk/jelek. Jadi kemunculan Eggy ada hikmah baiknya. Pernyataan Pak Eggy yang tidak sesuai dengan konsep Ketuhanan Yang Maha Esa dalam agama Buddha karena kelihatannya beliau belum paham, sehingga Ketua Umum NSI bisa menjelaskan konsep Ketuhanan Yang Maha Esa yang sebenarnya. Mengenai Eggy melakukan penistaan atau tidak, itu menjadi keputusan hukum nantinya, dan urusan pengadilan/hakim yang menentukan. Karena agama Buddha itu dasarnya hukum karma, hukum sebab akibat. Tapi perspektif pendirian kita sebagai seorang Buddhist, apa yang menjadi ungkapan Eggy itu semua jadi hikmah baik dalam artian sehingga kita bisa menjelaskan konsep Ketuhanan Yang Maha Esa yang sebenarnya.
Dalam Kesempatan ini Mpu Suhadi Sendjaja menyampaikan menyampaikan Konsep Ketuhanan dalam ajaran Buddha yang sebenarnya seperti apa. Agama Buddha merupakan agama kesadaran, Buddha merupakan manusia yang sadar, dan semua Orang bisa menjadi Buddha karena semua orang memiliki kesadaran di dalam jiwanya. Ketuhanan agama Buddha adalah Hukum Sebab Akibat (karma) itu sendiri. Siklus Lahir-Tua- Sehat-Meninggal. Menyadari Hukum Sebab Akibat dan menjaga keselarasan serta keseimbangan di dalam kehidupan. Di dalam agama Buddha tidak ada penciptaan jadi semua itu adalah proses lahir-Tua- Sehat-Meninggal dan semua itu tercipta tidak ada yang menciptakan.
Berikut ini beberapa pertanyaan yang diajukan kepada Ketua Umum NSI yang ditunjuk sebagai Saksi Agama Buddha :
- Jelaskan tentang konsep Tuhan menurut agama/ajaran Buddha sebagaimana yang tertulis dalam kitab suci agamalajaran Buddha!
Kemudian dalam kitab suci Agama Buddha aliran Niciren Syosyu yaitu Saddarmapundarika-sutra dijelaskan “makna yang tak terhingga dimana Hyang Buddha antara lain membabarkan bahwa makna-makna yang tidak terhigga bersumber dari hukum tunggal.” Jadi di dalam Agama Buddha Tuhan itu adalah Hukum. Tuhan itu Dharma. “Dengan sabda didalam sutra tersebut Hyang Buddha ingin mengungkapkan bahwa segala kejadian dan segala didalam alam semesta bersumber dari Yang Maha Esa dan Hyang Buddha menyebutnya sebagai Hukum Tunggal”. Ini adalah kutipan dari pedoman P4 dari umat Buddha Departemen Agama tahun 1983/1984.
Kemudian dalam buku BUDDHISM: A Non-Theistic Religion dikatakan bahwa :
“All morally positive or negative actions are subject to it, so that each good action reaps its own rewards and each evil meets its punishments” (hal.49) yang artinya “Semua perbuatan, baik itu positif ataupun negatif berjalan sesuai dengan hukum sebab-akibat, sehingga setiap kebaikan akan berakibat kebajikan dan setiap kejahatan akan melanggar hukum dan menjadi karma buruk”.
“The Cosmic Law in Buddhism is often similar to the personal God of Theist religions, for it conditions the origin, existence, and end of the world, rewrds good deeds and punishes evil ones” (hal.52). Yang artinya “Hukum kosmis/alam semesta dalam Buddhisme kerap serupa dengan sosok Tuhan dalam agama-agama teis, yang mengondisikan asal-mula terbentuknya dunia, eksistensinya, dan kiamat, memberikan pahala pada kebaikan dan menghukum kejahatan.”
Jadi memang dalam Agama Buddha Tuhan itu bukan sosok. Beda dengan agama Islam dan Kristen. Tetapi di dalam Agama Buddha Tuhan itu adalah Hukum itu sendiri. Jadi kita Non-teis. Kita bukan ateis tapi non-teis. Sedangkan agama Islam, Kristen agama teis. Sedangkan pengertian Tuhan dalam KBBI: “Sesuatu yang diyakini, dipuja, dan disembah oleh manusia sebagai yang Mahakuasa, Mahaperkasa, MahaEsa, dsb.”
- Jelaskan tentang “Amitaba” menurut agama/ajaran Buddha sebagaimana yang tertulis dalam kitab suci agama/ajaran Buddha!
Kamus Buddha Dharma Mahayana menjelaskan mengenai Buddha Amitabha bahwa :
“Buddha Amitabha, dengan gelar Buddha Yang Bercahaya Tidak Terbatas atau Buddha Yang Berkehidupan Tak Terbatas, mencapai ke-Buddha- an atau Samyak-Sambuddha atau kesadaran Agung-Nya pada suatu kalpa yang tidak terhitung. Sukhavativyuha-sutra (teks panjang) menjelaskan bahwa Beliau adalah Buddha yang Transendental atau di luar pengetahuan dan pengalaman manusia. Buddha yang telah mengatasi alam Duniawi, di hormati dan di puja di India, Nipel, Tibet, dan Mongolia sebagai salah satu dari Panca-Dhyani-Buddha. Buddha Amitabha dianggap sebagai penjelmaan dari Dharma-kaya, mengatasi segala persaingan dan pada-Nya menyerap semua atribut kesempurnaan. Beliau memancarkan kebijaksanaan dan welas asih yang tiada terbatas. Beliau merupakan transenden tertinggi dan tetap ada sepanjang waktu. Pada-Nya realitas Absolut ber-manifestasi sebagai Yang Teragung dari Welas asih yang tak terbatas.” (hal.379)
Dalam Saddarmapundarika-sutra Bab VII “Rasa Taat dan Bhakti Di Jaman Dahulu” juga menjelaskan tentang Amitabha bahwa beliau bertugas di dunia sebelah barat dan Sakyamuni tugasnya di dunia Saha ini. Buddha Sakyamuni menjelaskan “Dulu sebelum jadi Buddha di dunia, sebenarnya beliau sudah mencapai kesadaran Buddha sama-sama dengan Amitabha. Amitabha sebagai pangeran yang ke 9, saya sebagai pangeran yang ke 16.”
Jadi kalau Eggy bicara orang Buddha hanya menyebut Amitabha, itu dilakukan antara lain oleh sekte/aliran Agama Buddha Mahayana Tanah Suci. Menyebutnya juga bukan Amitabha, itu depannya harus ada Namu. Namu Amitabha yang artinya ingin memanunggalkan diri dengan Amitabha. Jadi semua orang Buddha tidak semuanya menyebut Amitabha karena agama Buddha memiliki banyak Aliran/sekte. Kalau dalam sekte Mahayana Niciren Syosyu menyebutnya Nammyohorengekyo. Namu kepada Saddharmapundarika-sutra.
Konsep Ketuhanan Yang Maha Esa di Agama Buddha adalah Trikaya yang Ekakaya, Ekakaya yang Trikaya (Nirmanakaya, Sambhogakaya, Dharmakaya). Dalam Buddhisme Niciren Syosyu, konsep Ketuhanan Yang Maha Esa ini terwujud dalam Mandala Pusaka Pemujaan Gohonzon dari Sandaihiho,di tengah-tengah Gohonzon, tertulis Namu Myohorengekyo-Niciren. Namu Myohorengekyo-Niciren menunjukkan konsep Trikaya yang Ekakaya. Niciren menunjukkan aspek Nirmanakaya, Buddha Masa Akhir Dharma yang membabarkan dan menyebarluaskan Hukum. Dan Hukum (dharma) yang dibabarkan adalah Nammyohorengekyo. Jadi tidak benar kalau dibilang Agama Buddha itu tidak ada Ketuhanan Yang Maha Esa.
- Bagaimana memahami konsep Ketuhanan Yang Maha Esa Yang Maha Esa sebagaimana yang dimaksud dalam sila pertama Pancasila dari persfektif/sudut pandang agama/ajaran Buddha, Jelaskan !
Jawab : Di dalam agama Buddha memang kita tidak menyebut Tuhan sebagai person. Sila pertama dalam pancasila itu bunyinya bukan Tuhan yang Maha Esa, namun Ketuhanan Yang Maha Esa Yang Maha Esa. Sebetulnya itu sangat pas dengan agama Buddha karena agama Buddha tidak mempersonifikasikan tetapi itu adalah sifat-sifat.
Konsep Ketuhanan Yang Maha Esa, Yang Maha Esa yang dimaksud dalam Sila pertama dari Pancasila yaitu kalimat pada sila pertama ini tidak lain enggunakan istilah dalam bahasa Sansekerta ataupun bahasa Pali. Jadi kitab-kitab suci agama Buddha ada dua bahasa dari India itu, Pali dan Sansekerta. Kalau yang Mahayana itu pakai bahasa sansekerta. Banyak diantara kita yang salah paham mengartikan makna dari sila pertama ini.Baik dari sekolah dasar sampai sekolah menengah umum kita diajarkan bahwa arti dari Ketuhanan Yang Maha Esa, Yang Maha Esa adalah Tuhan Yang Satu, atau Tuhan yang jumlahnya satu. Jika kita membahasnya dalam bahasa Sansekerta ataupun Pali, Ketuhanan Yang Maha Esa, Yang Maha Esa bukanlah Tuhan yang bermakna satu. Ketuhanan Yang Maha Esa berasal dari kata tuhan yang diberi imbuhan berupa awalan ke- dan akhiran –an. Penggunaan awalan ke- dan akhiran –an pada suatu kata dapat merubah makna dari kata itu dan membentuk makna baru. Penambahan awalan ke- dan akhiran –an dapat memberi makna perubahan menjadi antara lain: mengalami hal, sifat-sifat.
Kata Ketuhanan Yang Maha Esa yang beasal dari kata tuhan yang diberi imbuhan ke- dan –an bermakna sifat-sifat tuhan. Dengan kata lain Ketuhanan Yang Maha Esa berarti sifat-sifat tuhan atau sifat-sifat yang berhubungan dengan tuhan. Kata Maha berasal dari bahasa Sansekerta atau Pali yang bisa berarti mulia atau besar (bukan dalam pengertian bentuk namun mencangkup semua). Kata Maha bukan berarti sangat. Kata “esa” juga berasal dari bahasa Sansekerta atau Pali. Kata “esa” bukan berarti satu atau tunggal dalam jumlah. Kata “esa” berasal dari kata “etad” yang lebih mengacu pada pengertian keberadaan yang mutlak atau mengacu pada kata “ini” (this- Inggris). Sedangkan kata “satu” dalam pengertian jumlah dalam bahasa Sansekerta atau bahasa Pali adalah kata “eka”. Jika yang dimaksud dalam sila pertama adalah jumlah Tuhan yang satu, maka kata yang seharusnya digunakan adalah “eka” bukan kata “esa”.
Ketuhanan Yang Maha Esa Yang Maha Esa dari Konteks pancasila dari perspektif/sudut pandang agama Buddha memang pas sekali dengan ini bahwa arti dari Ketuhanan Yang Maha Esa Yang Maha Esa bukanlah berarti Tuhan Yang Hanya Satu, bukan mengacu pada suatu individual yang kita sebut Tuhan yang jumlahnya satu. Tetapi sesungguhnya Ketuhanan Yang Maha Esa Yang Maha Esa berarti sifat-sifat Luhur atau Mulia Tuhan yang mutlak harus ada. Jadi yang ditekankan pada sila pertama dari Pancasila ini adalah sifat-sifat luhur atau mulia dari Tuhannya. Jadi, Ketuhanan Yang Maha Esa Yang Maha Esa dalam agama Buddha adalah hukum yang berlaku secara universal di dalam alam semesta ini yang bersifat mutlak.
Dalam ajaran Buddha melihat segala sesuatu tidak pernah dalam perspektif yang buruk/jelek. Jadi kemunculan Eggy ada hikmah baiknya. Pernyataan Pak Eggy yang tidak sesuai dengan konsep Ketuhanan Yang Maha Esa dalam agama Buddha karena kelihatannya beliau belum paham, sehingga Ketua Umum NSI bisa menjelaskan konsep Ketuhanan Yang Maha Esa yang sebenarnya. Mengenai Eggy melakukan penistaan atau tidak, itu menjadi keputusan hukum nantinya, dan urusan pengadilan/hakim yang menentukan. Karena agama Buddha itu dasarnya hukum karma, hukum sebab akibat. Tapi perspektif pendirian kita sebagai seorang Buddhist, apa yang menjadi ungkapan Eggy itu semua jadi hikmah baik dalam artian sehingga kita bisa menjelaskan konsep Ketuhanan Yang Maha Esa yang sebenarnya.