
Sosialiasi UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual oleh KPPPA bersama NSI
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) Bekerjasama dengan NSI dan Sekretariat Gender dan Pemberdayaan Perempuan Konferensi Wali Gereja Indonesia (SGPP-KWI) menyelenggarakan Sosialisasi Undang-undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Kegiatan ini dilaksanakan di Jakarta, tepatnya di hotel Grand Mercure Harmoni. Selama kurang lebih 4 jam, acara yang diikuti oleh kurang lebih 40 peserta secara langsung dan 300 peserta di daring, berjalan dengan lancar. Kegiatan ini dibuka dengan sambutan yang diberikan oleh perwakilan dari KPPA, KWI, dan juga tentunya dari NSI yang disampaikan langsung oleh Ketua Umum NSI, Maha Pandita Utama Suhadi Sendjaja. Setelah sambutan-sambutan, acara dilanjutkan dengan pemaparan dari narasumber yang kemudian ditutup dengan sesi tanya jawab. Walaupun rancangannya sudah lama diperbincangkan, namun UU TPKS ini masih sangat belia. Undang-undang ini resmi diundangkan pada tanggal 9 Mei 2022, artinya belum genap satu tahun UU TPKS ini berlaku. Tentunya kegiatan sosialisasi menjadi sangat penting mengingat payung hukum ini pastinya belum diketahui masyarakat secara luas.

Dalam kesempatannya, Ketua Umum NSI menyampaikan peran lembaga keagamaan sebagai pihak yang berkepentingan untuk melaksanakan fungsi prevensi,
“Undang-undang pada dasarnya memang berperan secara represif, bukan preventif. Aturan-aturan yang ada di dalamnya hanya akan berlaku bila “hujan turun” atau ada kejadian nyata yang terjadi. Sementara bila kejadian baru ada di tahap niatan pelaku, maka undang-undang belum bisa membuka mata. Moral serta etika bukanlah ranah daripada undang-undang atau hukum. Disinilah agama memiliki andil besar. Agama yang merupakan pedoman hidup serta aturan-aturan berperilaku harus bisa kembali dibumikan sampai ke akar rumput. Undang-undang ini akan menjadi jaring bagi para manusia yang melompati pagar moral, dan agama akan menjadi pembangun pagar moral tersebut. Agama seharusnya tidak hanya ada di rumah-rumah ibadah, tapi agama harus bisa kita bisa kita lihat dan rasakan dalam perilaku keseharian diantara kita. Inilah yang disebut sebagai moderasi beragama.”
Demikian salah satu hal yang beliau sampaikan dalam sambutan berdurasi 13 menit. Rupanya sambutan singkat tersebut cukup memengaruhi jalannya acara. Seringkali ucapan beliau dikutip menjadi bagian dari materi yang disampaikan para narasumber. Selanjutnya, Kepala Sub Bagian Sumber Daya Pusat Indonesia Automatic Fingerprint Identification System (Pusinafis) Kepolisian Republik Indonesia, Rita Wulandari Wibowo mengatakan, “Mulai dari sekarang kita harus cerdas membekali siapa pun agar paham terkait kekerasan seksual dan dari sinilah kita akan terus menyuarakan agar korban berani speak up karena di dalam pembuktian, kita tidak hanya mencari atau mengumpulkan saksi yang melihat, mendengar, atau mengalami kekerasan seksual, tetapi dengan perluasan makna putusan Mahkamah Konstitusi (MK), maka orang yang mendapatkan cerita dari korban dapat dikatakan sebagai saksi dan kesaksiannya dapat digunakan sebagai alat bukti”. Lewat pernyataan ini seluruh masyarakat diimbau agar tidak lagi ragu untuk melapor kepada kepolisian bila mengalami atau menemukan kejadian tindak pidana kekerasan seksual. Dalam kasus TPKS cerita dari orang yang tidak menyaksikan secara langsung atau hanya mendengar cerita dari korban dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah. Hal ini merupakan kebijaksanaan MK yang memperluas makna putusan, mengingat sulitnya menemukan alat bukti atas kasus kekerasan seksual yang acapkali terjadi di ruang-ruang yang jauh dari jangkauan khalayak ramai. Kekerasan seksual juga seringkali terjadi karena adanya perbedaan kekuasaan vertikal yang jomplang. Misalnya antara atasan kepada bawahan, guru kepada murid, dan lain sebagainya. Hal ini tentunya dapat dicegah dengan pendidikan seksual dan perlindungan keluarga masing-masing.


Di kesempatan yang sama, Founder Institut Perempuan dan juga salah satu perumus UU TPKS, Valentina Sagala menyampaikan jiwa dari UU TPKS. Bahwasanya UU ini dirumuskan untuk bisa melindungi dan memenuhi hak-hak korban TPKS yang selama ini belum diatur dalam KUHP. Hadirnya UU TPKS ini diharapkan dapat menerangi sudut-sudut gelap tempat para korban selama ini tersudut. Dalam UU ini diatur begitu banyak hal yang nyata memberikan keadilan, bahkan UU ini memuat aturan mengenai restitusi yang harus dibayarkan pelaku kepada korban. Besar harapan agar “payung” ini tidak perlu digunakan, yang artinya TPKS tidak terjadi lagi di Bumi Indonesia. Namun, demikian untuk saat ini memang sebuah realita, bahwasanya masih diperlukan sebuah alat untuk melindungi masyarakat dari tindak kejahatan, termasuk kekerasan seksual. “Sungguh sebuah ironi bahwa nyatanya negara masih harus melindungi kita dari tindak kejahatan semacam ini. Artinya tugas besar masih harus dilaksanakan agama melalui lembaga maupun para pemukanya, hingga nantinya agama yang mampu melindungi negara dengan segala kebaikannya” Hal ini juga disampaikan oleh Ketua Umum NSI dalam sambutannya.
Kontribusi dari masing-masing kita adalah hal kecil yang amat penting dalam rangka menekan angka TPKS. Mulai dari keluarga inti, tempat dimana orang tua dan anak berkumpul dan saling berbagi kasih. Ketahanan keluarga adalah awal dari ketahanan sebuah negara, dimulai dari rumah yang rukun dan damai, berakhir pada negara yang tentram. Sebuah keluarga yang nyaman dan rukun menjadi tempat idaman bagi para anggotanya untuk selalu kembali dan berbagi cerita. Bagi anak-anak keluarga amatlah penting. Bila keluarga mencekam dan penuh keributan, jangankan cerita dan tawa, wajahnya saja mungkin akan jarang terlihat di rumah. Anak akan mencari tempat lain untuk berbagi cerita dan berlindung, ini bisa saja menjadi celah bagi terjadinya TPKS. Melalui pembinaan di NSI, diharapkan para anggota dapat menjadikan keluarga masing-masing menjadi tempat yang damai dan menyenangkan. Kontribusi sederhana ini adalah hal yang besar bila benar-benar diwujudnyatakan. UU TPKS memang sudah disahkan, namun perhatian dari keluarga tetap masih menjadi faktor terpenting untuk bisa menjauhi anggota keluarga kita dari TPKS.