Disampaikan pada Kensyu Gosyo Umum, Mahavihara Saddharma NSI
29-30 Juli 2017
Nammyohorengekyo,
Agama Buddha Niciren Syosyu adalah agama yang mazhabnya Mahayana, sektenya Niciren. Di dunia ini, ada 3 Mazhab besar, Theravada, Mahayana, dan Tantrayana. Dalam 50 tahun pembabaran ajaran oleh Buddha Sakyamuni, 42 tahun adalah ajaran pengantar yang di masyarakat umum dikenal sebagai Mazhab Theravada, berkembang di daerah Thailand, Sri Langka, Myanmar, daerah Asia Tenggara. Delapan tahun terakhir Buddha membabarkan Saddharmapundarika-sutra yang termasuk sebagai Mazhab Mahayana, yang umumnya ada di Tiongkok, Korea, dan sebagian di Jepang. Mazhab Tantrayana dikenal sebagai Mazhab Tibet.
Niciren Syosyu adalah Mazhab Mahayana yang masuk ke Jepang kurang lebih 700 tahun yang lalu. Kemudian munculah seorang Buddha yang bernama Niciren. Dalam konsep Mahayana, Buddha tidak hanya Buddha Sakyamuni. Seluruh umat manusia berpeluang mencapai kesadaran Buddha. Oleh karena itu, sesuai dengan ramalan Buddha Sakyamuni dalam Bab 11 Saddharmapundarika-sutra dikatakan setelah 5 kali 500 tahun kemudian akan muncul seseorang dengan tanda-tanda sebagai berikut: pernah mengalami penganiayaan, pernah dibuang ke pulau tandus lebih dari 2 kali, pernah mengalami usaha pemenggalan kepala, inilah yang dialami oleh Niciren. Inilah asal usul sekte Niciren. Gosyo adalah bimbingan yang diberikan oleh Buddha Niciren kepada murid-muridnya dalam bentuk tanya jawab dalam surat menyurat.
Ulambana adalah upacara yang hampir semua sekte agama Buddha laksanakan. Di masyarakat umum dikenal sebagai upacara tanggal 15 bulan 7 kalender Imlek, yang pada saat tersebut banyak roh-roh kelaparan sedang bergentayangan. Roh-roh ini membutuhkan sumbangan makanan agar dapat tertolong dari kelaparan. Asal-usul Ulambana adalah dari cerita Maudgalyayana. Maudgalyayana adalah salah satu murid Buddha Sakyamuni yang memiliki 6 kemampuan istimewa, tetapi pada saat ia memiliki 6 kemampuan istimewa ini ia belum mencapai kesadaran Buddha, baru di tingkat Saravaka. Sravaka adalah tingkat ketujuh dari 10 dunia, tingkatan bagi orang-orang yang sangat berpengetahuan. Walaupun demikian, dunia Sravaka yang sedemikian tinggi, seperti yang dimiliki Maudgalyayana pun tidak dapat menolong ibunya.
Semua orang pasti ingin balas budi pada orang tua. Tetapi, perasaan manusia sangat mudah berubah, seperti air yang mengikuti wadahnya. Pengaruh luar sangat cepat mempengaruhi jiwa kita. Ketika sedang dekat dengan orang tua merasa ingin balas budi pada orang tua. Tapi anak-anak muda sekarang sudah kurang dekat dengan orang tua, lebih dekat dengan gadget, sehingga keinginan untuk balas budi dirasakan makin tipis.
Ulambana harus kita maknai dengan tepat. Ulambana adalah balas budi. Balas budi adalah perasaan Buddha. Manusia sangat mudah lupa. Kadang saya lupa kalau saya memberi, tapi saya selalu ingat ketika diberi. Seperti saya ingat bagaimana almarhum Pak Sumitra ketika hidup selalu mendampingi saya saat susah dan menghadapi tantangan. Saya ingat budinya, teman seperjuangan. Inilah ulambana. Ulambana adalah perasaan jiwa kita sehari-hari, seperti tidak melupakan budi dari orang lain.
Di LP Cipinang sekarang bersemayam Gohonzon. Setiap selasa, dipimpin oleh ketua wilayah NSI DKI Jakarta, Pak Niki, Dharma Duta NSI ke sana untuk membina tahanan yang beragama Buddha di sana. Mereka menggunakan badanya untuk menyampaikan ajaran Niciren. Ini juga adalah bentuk Ulambana. Ini adalah praktik nyata menyumbangkan waktu, tenaga, dan materi kita untuk penyebarluasan Nammyohorengekyo, untuk membahagiakan orang lain.
Dikatakan ketika Maudgalyayana mengirimkan sumbangan makanan kepada Ibunya, pada saat Ibunya hendak makan, makanannya berubah menjadi api atau lehernya menjadi kecil sehingga tidak bisa makan. Kelaparan yang dialami oleh Ibunda Maudgalyayana adalah perasaan jiwa. Ibundanya berada di dunia kelaparan, maka untuk menolongnya, perasaan jiwa ibundanya harus dinaikkan dari dunia kelaparan ke dunia Buddha. Sebenarnya diri sendirilah yang paling utama dapat menaikkan perasaan jiwa, bukan orang lain.
Oleh karena itu, ketika Maudgalyayana sudah mencapai kesadaran Buddha karena percaya dan melaksanakan Saddharmapundarika-sutra, seketika itu Ibundanya terangkat dari dunia kelaparan ke dunia Buddha. Ketika jiwa kita naik dari tiga dunia buruk ke dunia Buddha, kita bukan hanya dapat menolong orang tua kita, kita dapat menolong tujuh turunan ke bawah dan tujuh turunan ke atas. Agama Buddha yang tepat waktu dan tepat guna dapat menolong mereka, bukan sumbangan makanan.
Kegiatan ceng beng tentu boleh dilakukan agar kita tidak mudah lupa terhadap leluhur kita. Tetapi untuk orang Niciren Syosyu, sesungguhnya setiap hari kita sudah melakukan ceng beng, doa ke lima pada gongyo. Kita diberikan peluang dan dibimbing untuk menjadi orang sangat tahu balas budi khususnya pada ayah bunda melalui gongyo dan daimoku yang kita lakukan setiap hari.
Sampai kapan kita harus mendoakan orang tua ketika gongyo? Balas budi pada orang tua seharusnya tidak ada pamrih dan tidak ada ujungnya sampai kita meninggal nanti. Makna Ulambana adalah kita harus mencapai kesadaran Buddha untuk membalas budi pada orang tua.
Ulambana adalah salah satu ajaran atau tradisi dalam agama Buddha. Walaupun dalam gosyo ini diajarkan pandangan-pandangan secara umum dari berbagai sekte dan perkembangan agama Buddha dari abad ke abad, hal yang harus kita pegang adalah pandangan dari Buddha Niciren. Perspektif dari Buddha Niciren yang didasarkan pada Saddharmapundarika-sutra diambil dengan pemaknaan di dasar kalimat. Satu-satunya orang yang dapat membaca pemaknaan dari ajaran Sakyamuni, khususnya Saddharmapundarika-sutra, adalah Buddha Niciren.
Berkaitan dengan kutipan kedua dari gosyo ini, Niciren Daisyonin mengambil acuan dari Bab Devadatta. Buddha Niciren berkata bahwa kalau kita bisa memaknai Bab Devadatta, maka semua lelaki dan perempuan dapat mencapai kesadaran Buddha. Dalam Bab Devadatta, laki-laki dilambangkan dengan Devadatta, seorang pintar yang sombong, namun tidak dapat mengungguli Budda Sakyamuni. Ia ingin melampaui Buddha Sakyamuni dalam banyak hal, termasuk juga dalam pencapaian kesadaran Buddha. Namun karena tidak bisa, ia pun berniat untuk membunuh Buddha Sakyamuni. Dalam bimbingan Buddha sifat seperti ini dikatakan sebagai kebodohan. Ingin mengalahkan, tetapi karena tidak bisa dikalahkan, maka berniat membunuh. Sedangkan perempuan dilambangkan oleh Putri Naga, yang akhirnya dapat mencapai kesadaran Buddha karena rela melepaskan pusaka yang berharga miliknya.
Dijelaskan dalam Bab Devadatta bahwa ketika manusia terikat dengan kebodohan dan hawa nafsu, maka tidak dapat mencapai kesadaran Buddha. Namun, agar laki-laki dan perempuan (umat manusia) dapat mencapai kesadaran Buddha, kita harus dapat mengalahkan atau melepaskan hawa nafsu dan kebodohan tersebut. Acuan dari Bab Devadatta ini adalah hukum dan teori yang sebenarnya, yang tidak akan berubah dan tidak akan usang oleh perkembangan zaman.
Seperti Devadatta yang akhirnya dapat mencapai kesadaran Buddha dengan percaya pada Saddharmapundarika-sutra, para lelaki juga harus dapat mengatasi kebodohan mereka sendiri dengan hati kepercayaan yang mendalam. Sama halnya dengan perempuan, mereka pun harus bisa mengatasi sifat-sifat kebinatangan dan melepaskan sifat egois mereka, sehingga bisa mencapai kesadaran Buddha.
Menyapa dan berkomunikasi dengan orang tua menggunakan sikap dan bahasa yang sopan juga termasuk balas budi, namun bukan merupakan balas budi yang terbesar. Balas budi kepada orang tua yang paling agung dan yang sesungguhnya adalah untuk mengajak orang tua syinjin (percaya kepada Nammyohorengekyo dan melaksanakan Dharma) semasa hidup mereka.
Saddharmapundarika-sutra mengajarkan sebuah pemikiran yang sangat realistis kepada kita. Kalau kita dilahirkan di dunia ini, maka kita dilahirkan di antara dunia manusia dan dunia surga, bearti kita berada dalam dunia nyata. Kalau kita berada di hadapan Buddha, mungkin merupakan penjelmaan dari Pundarika (yakni simbol dari In Ga Guji; sebab akibat sesaat).
Apabila kita mencapai kesadaran Buddha, segala sesuatu akan berlangsung sesuai dengan sebab akibat. Kita harus mencapai kesadaran Buddha, kemudian kita juga bisa hidup layak seperti umumnya masyarakat, sesuai dengan sebab akibat yang kita perbuat. Karena bisa memunculkan kesadaran Buddha, hidup yang penuh dengan kebahagiaan pun bisa dinikmati. Kehidupan yang bergembira tersebut merupakan kenikmatan kehidupan yang tertinggi dari dunia manusia dan dunia surga.
Oleh karena itu, kebahagiaan kita itu syiki syin funi (jiwa dan raga bukan dua), dari dalam dan dari luar. Dari dalam di mana ketika kesadaran Buddha timbul (naisyo), dan dari luar dimana kita bisa menarik jodoh-jodoh dari dunia Buddha, sehingga kita dapat menikmati kegembiraan yang tertinggi. Kemudian, dengan memikirkan dan mencabut penderitaan orang lain, kualitas kesadaran kita pun akan semakin meningkat.
Seiring berjalanya waktu, perkembangan-perkembangan yang terjadi dan terus tumbuh di sekitar kita boleh juga kita nikmati. Tetapi pada dasarnya, kita memunculkan kesadaran Buddha kita (naisyo) sehingga kita bisa menikmati "dunia surga" (perasaan yang gembira) secara proporsional. Perputaran hidup kita sekejap-sekejap merupakan siklus hidup-mati; Myoho. Myo berarti mati, Ho berarti hidup. Kalau bisa menikmati hidup di dalam kondisi dunia surga, hal tersebut adalah bagian dari kebahagiaan. Jadi sebenarnya, kebahagiaan kita itu tidak terlepas dari kehidupan nyata di luar, dan kebahagiaan pencapaian kesadaran Buddha pun tidak terlepas dari dunia nyata (realitas).
Kita adalah orang-orang yang harus semakin meneguhkan bahwa kita adalah orang-orang yang beruntung, seperti apa yang dikatakan Buddha Niciren,
"Tidak ada sesuatu apapun dalam kehidupan ini yang kebetulan." ***