Judul bahasa Jepang dari Gosyo ini adalah Shokyo to Hokekyo to Nan-i no Koto. Gosyo ini ditulis di Minobu pada tahun 1280, dan diberikan kepada Toki Jonin. Pada Waktu itu Niciren Daisyonin sedang mencurahkan seluruh tenaganya untuk membina para muridnya melalui berbagai pelajaran agama Buddha, antara lain pelajaran tentang Saddharmapundarika- sutra. Sehingga pada waktu itu salah seorang muridnya, Toki Jonin, bertanya kepada Beliau mengenai pengertian kalimat Bab Dharma Duta Saddharmapundarika-sutra yang berbunyi: “ Diantara semua ( Sutra ) itu, Saddharmapundarika-sutra inilah yang paling sulit dipercaya dan sulit dimengerti”. Maka dalam Gosyo ini Niciren Daisyonin menerangkan kalimat ini dalam bentuk tanya jawab.
Oleh karena Gosyo ini membahas kalimat Bab Dharma Duta sebagaimana yang dikutip di atas, maka Gosyo ini juga mempunyai nama lain: ”Keterangan Tentang Ajaran Yang Paling Sulit Dipercaya dan Sulit Dimengerti” (bahasa Jepangnya: “ Nashin Nange Hoomon”).
Adapun isi dari Gosyo ini secara garis besarnya dapat dibagi dua. Pertama-tama Niciren Daisyonin menerangkan bahwa segala sutra lain kecuali Saddharmapundarika-sutra adalah ajaran Sang Buddha yang sifatnya disesuaikan dengan bakat dan kemampuan umat (ajaran Zuita-i), sehingga ajaran-ajaran ini ‘mudah dipercaya dan mudah dimengerti’. Sebaliknya Saddharmapundarika-sutra adalah ajaran yang menerangkan kesadaran Sang Buddha sebagaimana adanya (ajaran Zuiji-i) sehingga ‘sulit dipercaya dan sulit dimengerti’. Dengan dasar ini Beliau menyatakan bahwa justru Saddharmapundarika-sutra adalah raja dari segala sutra, yang dapat membuat seluruh umat manusia mencapai kesadaran Buddha.
Kedua, Beliau mengemukakan suatu prinsip bahwa agama Buddha adalah tubuh, masyarakat adalah bayangannya. Artinya keadaan agama Buddha yang tersesat di Jepang saat itu mengakibatkan masyarakatnya menjadi kacau dan keruh. Beliau amat prihatin atas keadaan masyarakat Jepang saat itu, sehingga Beliau mengajarkan dalam Gosyo ini bahwa orang-orang yang pasti dapat mencapai kesadaran Buddha sesuai dengan kehendak Sang Buddha adalah hanya Beliau dan murid-muridnya.
Pertanyaan: Apakah maksudnya kalimat Bab Dharma Duta Saddharmapundarika-sutra yang berbunyi “Di antara semua itu, Saddharmapundarika-sutra inilah yang paling sulit dipercaya dan sulit dimengerti?”
Jawab: Kini telah berlalu dua ribu tahun lebih sejak Sang Buddha mengkhotbahkan Sutra ini. Setelah Sutra ini tersebar di India selama seribu dua ratus tahun dan di Tiongkok dua ratus tahun lebih, maka masuklah Sutra ini ke Jepang, dan sejak itu kini telah berlalu tujuh ratus tahun. Tetapi sejak wafatnya Sang Buddha, hanya ada tiga orang yang benar-benar membaca kalimat yang disebutkan di atas.
Di India, Bodhisattva Nagarjuna menulis dalam karangannya berjudul Mahaprajna-paramitha-sastra. “Hal ini sama seperti seorang tabib yang amat mahir dapat merubah racun menjadi obat”. Ini berarti ia telah membaca kalimat yang berbunyi : “Sulit dipercaya dan sulit dimengerti”. Sedangkan di Tiongkok, orang yang disebut arif-bijaksana Mahaguru Tien-tai telah membaca kalimat tersebut, sehingga ia menulis dalam karangannya: “Di antara segala Sutra yang ‘sudah’, ‘sedang’ dan ‘akan’ dikhotbahkan, Saddharmapundarika-sutra inilah yang paling sulit dipercaya dan sulit dimengerti”. Kemudian di Jepang, Mahaguru Dengyo telah membaca kalimat tersebut dan menulis dalam karangannya: “Segala Sutra yang ‘sudah’ diterangkan dalam keempat periode1, Sutra Amitarta yang ‘sedang’ dikhotbahkan dan Sutra Nirvana yang ‘akan’ diterangkan adalah mudah dipercaya dan mudah dimengerti karena semuanya itu merupakan ajaran Zuita-i. Tetapi Saddharmapundarika-sutra paling sulit dipercaya dan sulit dimengerti karena ajaran Zuiji-i”.
Pertanyaan: Apakah maksud keterangan ini?
Jawab: Suatu ajaran mudah dipercaya dan mudah dimengerti karena ia merupakan ajaran Zuita-i atau ajaran yang disesuaikan dengan bakat dan kemampuan umat pendengar. Sebaliknya suatu ajaran sulit dipercaya dan sulit dimengerti karena ia merupakan ajaran Zuiji-i atau ajaran yang menerangkan kesadaran Sang Buddha sebagaimana adanya.
Mahaguru Kobo dan para penganut dari Kuil To di Jepang beranggapan bahwa Saddharmapundarika-sutra adalah ajaran yang sulit dipercaya dan sulit dimengerti di antara ajaran Buddha Sakyamuni, tetapi kalau dibandingkan dengan ajaran Buddha Mahavairocana maka Saddharmapundarika-sutra merupakan ajaran yang mudah dipercaya dan mudah dimengerti. Sedangkan Jikaku dan Chisho berikut murid-muridnya beranggapan bahwa baik Saddharmapundarika-sutra maupun Sutra Mahavairocana adalah ajaran yang sulit dipercaya dan sulit dimengerti; namun apabila kedua Sutra ini dibandingkan, maka Saddharmapundarika-sutra adalah ajaran yang sulit dipercaya dan sulit dimengerti, tetapi Sutra Mahavairocana adalah ajaran yang paling sulit dipercaya dan sulit dimengerti. Kedua pandangan ini telah tersebarluas di seluruh Jepang.
Tetapi menurut pengertian Niciren, apabila ajaran non-Buddhis, dibandingkan dengan ajaran Theravada, maka ajaran non-Buddhis mudah dipercaya dan mudah dimengerti, tetapi ajaran Theravada sulit dipercaya dan sulit dimengerti. Ajaran Theravada kalau dibandingkan dengan Sutra Mahavairocana, maka ajaran Theravada mudah dipercaya dan mudah dimengerti, tetapi ajaran Sutra Mahavairocana sulit dipercaya dan sulit dimengerti. Ajaran Sutra Mahavairocana bila dibandingkan dengan ajaran Mahaprajna-paramitha-sutra, maka ajaran Sutra Mahavairocana mudah dipercaya dan mudah dimengerti, tetapi ajaran Mahaprajna-paramitha-sutra sulit dipercaya dan sulit dimengerti. Ajaran Mahaprajna-paramitha-sutra bila dibandingkan dengan ajaran Sutra Avatamsaka, maka ajaran Mahaprajna-paramitha-sutra mudah dipercaya dan mudah dimengerti, tetapi ajaran Sutra Avatamsaka sulit dipercaya dan sulit dimengerti. Ajaran Sutra Avatamsaka bila dibandingkan dengan ajaran Sutra Nirvana, maka ajaran Sutra Avatamsaka mudah dipercaya dan mudah dimengerti, tetapi ajaran Sutra Nirvana sulit dipercaya dan sulit dimengerti. Ajaran Sutra Nirvana bila dibandingkan dengan ajaran Saddharmapundarika-sutra, maka ajaran Sutra Nirvana mudah dipercaya dan mudah dimengerti, tetapi ajaran Saddharmapundarika-sutra sulit dipercaya dan sulit dimengerti. Dan lebih lanjut lagi, di dalam Saddharmapundarika-sutra sendiri kalau Shakumon dan Honmon dibandingkan, maka Shakumon mudah dipercaya dan mudah dimengerti, tetapi ajaran Honmon sulit dipercaya dan sulit dimengerti.
Demikianlah terdapat begitu banyak tingkatan dalam menentukan sulit dan mudahnya berbagai Sutra.
Pertanyaan: Apakah manfaat kita memahami pengertian ini?
Jawab: Ajaran ini adalah tidak lain dari pelita agung yang menerangi kegelapan malam hidup dan mati yang amat panjang, serta pedang sakti yang dapat menembus Kesesatan Pokok Jiwa Manusia atau Gampon no Mumyo.
Justru mazhab Syingon yang menganut Sutra Mahavairocana serta mazhab Kegon yang menganut Sutra Avatamsaka adalah ajaran Zuita-i yang mudah dipercaya dan mudah dimengerti. Sutra-sutra yang dikhotbahkan Sang Buddha sesuai dengan kehendak umat manusia Sembilan Dunia disebut ajaran Zuita-i, Sebagai umpama, sama seperti seorang ayah yang bijaksana yang sengaja menuruti kehendak anaknya yang bodoh.
Sutra-sutra yang dikhotbahkan Sang Buddha dengan menuruti Dunia Buddhanya disebut ajaran Zuiji-i . Hal ini sama seperti seorang ayah yang arif-bijaksana menyuruh anaknya yang bodoh untuk mengikuti dirinya. Apabila Saya melihat Sutra Mahavairocana, Sutra Avatamsaka, Sutra Nirvana dan sebagainya berdasarkan pengertian ini, maka semuanya itu merupakan Sutra-sutra Zuita-i.
Pertanyaan: Apakah buktinya Sutra-sutra tersebut merupakan ajaran Zuita-i ?
Jawab: Dalam Srimala Sutra dikatakan :”Kepada umat manusia yang belum pernah mendengar Hukum Sebab Akibat, Sang Buddha mengajarkan sebab-sebab baik untuk terlahir dalam Dunia Kemanusiaan dan Dunia Surga. Kepada umat manusia yang menuntut Dunia Sravaka, Sang Buddha menerangkan ajaran Sravaka-yana. Kepada umat manusia yang menuntut Dunia Pratyekabuddha, Sang Buddha menerangkan ajaran Pratyekabuddha-yana. Sedangkan kepada umat manusia yang mencari ajaran Mahayana, Sang Buddha menerangkan ajaran Mahayana”. Inilah ajaran Zuita-i yang mengikuti kehendak umat manusia, sehingga ajaran ini mudah dipercaya dan mudah dimengerti. Demikian pula dengan Sutra Avatamsaka, Sutra Mahavairocana, Mahaprajna-paramitha-sutra, Sutra Nirvana dan sebagainya.
Dalam Bab Dharma Duta Saddharmapundarika-sutra dikatakan : “ Pada saat itu Sang Buddha menyapa delapan puluh ribu pemimpin agung melalui Bodhisattva Baisyajaraja dengan bersabda : “Wahai Baisyajaraja! Apakah engkau lihat dalam khalayak ini, para Dewa, Raja Naga, Yaksha2 , Gandharva3 , Asura4, Garuda5, Kimnara6, Mahoraga7 , manusia dan makhluk bukan manusia, serta para bhikku, bhikkuni, upasaka8 dan upasika9, yang merupakan pencari Kesravakaan, pencari KePratyekabuddhaan serta pencari KeBuddhaan, yang semuanya dalam jumlah tak terbatas ini ? Seluruh umat yang berada di hadapan Sang Buddha ini, seandainya mereka mendengar hanya sebait syair atau sepatah kata dari Saddharmapundarika-sutra dan bergembira meskipun sekejap (icinen), maka Aku memberi kepastian pencapaian kesadaran Buddha kepadanya. Sungguh mereka pasti akan mencapai Anuttara Sammyak Samboddhi10”. Tetapi dalam Sutra-sutra lain diterangkanlah ajaran yang berbeda-beda untuk setiap bakat manusia. Misalnya saja ajaran Lima Pantangan11 untuk orang-orang Dunia Kemanusiaan; Sepuluh Jalan Kebenaran12 untuk orang-orang Dunia Surga; ajaran Empat Kekuatan Jiwa Yang Tak Terbatas13 untuk Dewa Brahma; ajaran untuk berderma kepada Raja Mara; ajaran 250 pantangan untuk kaum bhikku; ajaran 500 pantangan untuk kaum bhikkuni; ajaran Empat Kebenaran Suci14 untuk kaum Sravaka; ajaran Dua belas Sebab Jodoh15 untuk kaum Pratyekabuddha ; dan ajaran Enam Paramitha untuk kaum Bodhisattva. Hal ini sama seperti air yang selalu mengikuti bentuk bejana yang persegi atau pun bulat; dan juga sama seperti seekor gajah yang mengeluarkan kekuatannya sesuai dengan musuh yang dihadapinya. Tetapi Saddharmapundarika-sutra tidaklah demikian. Saddharmapundarika-sutra dikhotbahkan kepada seluruh pendengar, baik Delapan Makhluk16 maupun Empat Umat17. Hal ini sama seperti penggaris yang dapat meluruskan segala garis yang bengkok, dan sama seperti seekor singa yang mengeluarkan kekuatan besar tanpa peduli kuat lemahnya musuh.
Apabila kita melihat segala Sutra berdasarkan cermin terang ini, maka ketiga Sutra mazhab Syingon dan ketiga Sutra mazhab Jodo akan tersembunyi dan tidak tampak.
Tetapi entah kenapa, setiap orang percaya pada ajaran Kobo, Jikaku dan Chisho, sehingga pengertian di atas telah tenggelam dan tersembunyi di Jepang selama 400 tahun. Hal ini sama seperti menukar permata dengan batu kerikil, menukar kayu cendana dengan kayu yang usang. Agama Buddha diputarbalikkan seperti ini, sehingga masyarakat menjadi kacau dan keruh. Agama Buddha ibarat tubuh, masyarakat ibarat bayangannya. Apabila tubuhnya bengkok,bayangan akan miring. Tetapi alangkah bahagianya Saya dan murid-murid Saya, karena kita pasti akan mencapai lautan Sarvajnata sesuai dengan kehendak Sang Buddha. Sedangkan para sarjana masyarakat umum yang percaya pada ajaran Zuita-i pasti akan tenggelam di dalam lautan penderitaan. Lebih lanjut akan Saya tulis lagi.
Tanggal 26 bulan ke-5
Surat balasan Kepada Saudara Toki
Hormat Saya,
Niciren
Keterangan Istilah :
- Empat Periode: Tien-tai menggolongkan seluruh Sutra yang dikhotbahkan Buddha Sakyamuni menjadi Lima Periode menurut urutan waktunya, yaitu ; periode Avatamsaka (Kegon), periode Agam (Agon), periode Vaipulya (Hoto), periode Mahaprajna paramitha (Hannya) dan periode Saddharmapundarika (Hokke). Empat periode yang dimaksud disini ialah periode Avatamsaka hingga periode Mahaprajna-paramitha.
- Yaksha: Sejenis setan yang terdapat dalam kepercayaan India kuno, tetapi dalam Saddharmapundarika-sutra ia diterangkan sebagai salah satu dewa baik yang melindungi Saddharmapundarika-sutra.
- Gandharva: Disebut juga Dewa Harum, ia adalah seorang dewa pemain musik, dan ia tidak makan daging serta tidak minum minuman keras, tetapi ia hanya mencari bau harum/wangi, oleh karenanya ia dijuluki Dewa Harum. Menurut kepercayaan di India zaman kuno, ia memainkan musik di hadapan Dewa Indera bersama Kimnara.
- Asura: Juga merupakan salah satu dewa dalam legenda India kuno yang berperawakan buruk dan melambangkan jiwa angkara-murka.
- Garuda: Garuda adalah merupakan salah satu mahluk yang menghadiri upacara Saddharmapundarika-sutra dan menjadi pelindung Saddharmapundarika-sutra.
- Kimnara: Dewa Menyanyi. Ia memiliki suara yang merdu dan dapat mempertunjukkan nyanyian dan tarian yang indah. Rupanya menyerupai manusia tetapi di kepalanya ada sebatang cula/tanduk.
- Mahoraga: Dewa yang tidak memiliki kaki dan berjalan dengan perutnya. Badannya berbentuk manusia tetapi kepalanya berbentuk ular . ( No. 2 sampai No.6 di tambah para Dewa dan Raja Naga disebut Delapan Mahluk pelindung Saddharmapundarika-sutra )
- Upasaka: Penganut agama Buddha yang pria.
- Upasika: Penganut agama Buddha yang wanita.
- Anuttara Sammyak Samboddhi: Secara harfiah berarti kesadaran tertinggi yang adil merata dan tiada taranya. Maksudnya ialah kesadaran Buddha yang tertinggi dan sempurna.
- Lima pantangan: Pantangan untuk kaum upasaka dan upasika yang diterangkan dalam ajaran Theravada, yaitu : pantangan membunuh, pantangan mencuri, pantangan berzinah, pantangan berbohong dan pantangan minum-minuman keras.
- Sepuluh jalan kebenaran (Dasa Kusalani): Sepuluh kebaikan yang diterangkan dalam sutra Shobonenjo, yaitu: 1) tidak membunuh; 2) tidak mencuri; 3) tidak berzinah; 4) tidak berbohong; 5) tidak berlidah dua; 6) tidak mencela orang lain; 7) tidak menghias kata-kata; 8) tidak serakah; 9) tidak iri dan benci; 10) tidak berpandangan sesat.
- Empat kekuatan jiwa yang tak terbatas (Catvari Apramani): Empat macam keadaan jiwa welas asih kaum Boddhisatva dan Sang Buddha yang tak terbatas. Dalam kitab “Mahaprajna paramitha sastra” karangan Nagarjuna dikatakan : bahwa barang siapa yang memiliki keempat sikap ini akan dilahirkan sebagai Dewa Brahma. Adapun masing-masing ialah: 1) Maitri : memberi kebahagiaan pada umat manusia; 2) Karuna : mencabut penderitaan umat manusia 3) Mudita: bergembira karena umat manusia dapat meninggalkan penderitaannya; 4) Upekha: meninggalkan segala rasa benci dan iri terhadap umat manusia.
- Empat kebenaran suci (Catur Aryasatya): Suatu ajaran yang diterangkan oleh Buddha Sakyamuni tatkala Beliau pertama kali memutar roda Dharma di taman Mirgadava. Sesudah kemokshaan Buddha Sakyamuni, ajaran ini dianggap ajaran Theravada dan orang yang telah memahami ajaran ini disebut Sravaka. Masing-masingnya ialah: 1) Dukha-aryasatya: menyadari bahwa segala sesuatu dalam dunia yang sesat ini adalah penderitaan; 2) Samudya-aryasatya: menyadari bahwa penyebab segala penderitaan adalah hawa nafsu; 3) Nirodha – aryasatya: menyadari bahwa untuk mencapai kesadaran harus memusnahkan hawa nafsu; 4) Marga-aryasatya : menyadari jalan untuk memusnahkan hawa nafsu.
- Dua belas sebab jodoh (Dvadasanga Pratityasamutpada): Salah satu ajaran Buddha Sakyamuni mengenai dua belas sebab-musabab kefanaan hidup manusia.
- Delapan Makhluk: Delapan jenis mahluk dewata yang menjadi pelindung Saddharmapundarika-sutra, yaitu: Dewa, Raja Naga, Yaksha, Gandarva, Asura, Garuda, Kimnara dan Mahoraga.
- Empat umat: Bhikku, Bhikkuni, Upasaka dan Upasika.
- Sarva-jnata: Prajna Sang Buddha yang mencakup segala sesuatu.
Apakah maksudnya kalimat Bab Dharma Duta Saddharmapundarika-sutra yang berbunyi, “di antara semua itu, Saddharmapundarika-sutra inilah yang paling sulit dipercaya dan sulit dimengerti?”
Keterangan:
Pada awal Gosyo ini dikemukakanlah sebuah pertanyaan mengenai salah satu kalimat dari Bab Dharma Duta Saddharmapundarika-sutra yang lengkapnya berbunyi:
Pada Waktu itu Sang Buddha menyapa kembali Bodhisattva-Mahasatva Baisyajaraja dengan bersabda, ”Sutra-sutra yang Aku khotbahkan adalah sebanyak ribuan koti yang tak terbatas. Ada yang sudah selesai dikhotbahkan, ada yang sedang dikhotbahkan, dan ada yang akan dikhotbahkan di masa mendatang. Di antara semua itu, Saddharmapundarika-sutra inilah yang paling sulit dipercaya dan sulit dimengerti.
Untuk menjawab pertanyaan pertama, Niciren Daisyonin tidaklah secara langsung menerangkan makna kalimat Bab Dharma Duta tersebut, akan tetapi Beliau hanya menunjukan betapa sulitnya untuk memahami Saddharmapundarika-sutra secara benar, dengan mengatakan, “...sejak wafatnya Sang Buddha, hanya ada tiga orang yang benar-benar membaca kalimat yang disebutkan di atas”. Sesudah itu Beliau menjelaskan bagaimana ketiga orang itu, Nagarjuna, Tien-tai dan Dengyo, menginterpretasikan kalimat Bab Dharma Duta tersebut, dengan mengutip karangan mereka. Dengan demikian. dengan sendirinya arti kalimat Bab Dharma Duta tersebut menjadi jelas.
Dalam karangannya, Mahaprajna paramitha sastra, Nagarjuna menulis, “...dalam Sutra-sutra seperti Saddharmapundarika-sutra diterangkan bahwa kaum Arhat telah mendapat kepastian untuk mencapai kesadaran Buddha, sehingga para Bodhisattva yang agung telah menerima dan mempertahankan ajaran ini dengan baik. Hal ini sama seperti seorang tabib yang amat mahir dapat merubah racun menjadi obat.”
Dalam Sutra-sutra sebelum Saddharmapundarika-sutra, kaum Arhat yang terdiri dari kaum Sravaka dan kaum Pratyekabuddha dinyatakan bahwa bibit keBuddhaannya telah busuk, sehingga mereka dianggap tidak akan dapat mencapai Kesadaran Buddha untuk selama-lamanya. Tetapi dalam Saddharmapundarika-sutra ternyata mereka diizinkan untuk mencapai Kesadaran Buddha. Kekuatan Saddharmapundarika-sutra yang amat besar ini, oleh Nagarjuna diumpamakan sebagai kemampuan seorang tabib mahir yang dapat merubah racun menjadi obat. Maka berdasarkan kalimat Mahaprajna-paramitha-sastra ini, Niciren Daisyonin telah memastikan bahwa Nagarjuna benar-benar memahami kalimat Bab Dharma Duta yang mengatakan bahwa Saddharmapundarika-sutra adalah ajaran yang paling sulit dipercaya dan sulit dipahami.
Ada dua hal yang hanya diterangkan dalam Saddharmapundarika-sutra dan belum pernah diterangkan dalam Sutra-sutra sebelumnya, yaitu: pertama, pencapaian Kesadaran Buddha kaum Sravaka dan Pratyekabuddha (hal ini diterangkan dalam bagian Shakumon); dan kedua, pencapaian Kesadaran Buddha Sakyamuni pada masa lampau yang amat jauh (hal ini diterangkan dalam bagian Honmon), Maka dalam Surat Membuka Mata atau Kaimokusho, Niciren Daisyonin mengatakan bahwa dua hal ini merupakan ‘dua hal terpenting’ yang membuat Saddharmapundarika-sutra sulit dipercaya dan sulit dimengerti. Dan dari kutipan karangan Nagarjuna di atas dapatlah diperkirakan bahwa ia telah memahami salah satu dari kedua hal tersebut, yaitu sulit dipercaya dan dimengertinya pencapaian Kesadaran Buddha kaum Sravaka dan Pratyekabuddha.
Selanjutnya kutipan karangan Tien-tai dan Dengyo secara langsung menunjuk kepada kalimat Bab Dharma Duta yang dimaksudkan. Baik Tien-tai maupun Dengyo menerangkan bahwa apa yang dimaksud dengan Sutra yang “sudah selesai dikhotbahkan” adalah Sutra-sutra keempat periode: Avatamsaka, Agam, Vaipulya dan Mahaprajna-paramitha; sedangkan Sutra yang ‘sedang dikhotbahkan’ adalah Sutra Amitarta sebagai sutra pembukaan bagi Saddharmapundarika-sutra; kemudian Sutra yang ‘akan dikhotbahkan’ adalah Sutra Nirvana. Dengan uraian ini, kedua tokoh agama Buddha tersebut menjelaskan maksud kalimat Bab Dharma Duta bahwa justru Saddharmapundarika-sutra adalah Sutra yang paling sulit dipercaya dan sulit dimengerti di antara segala Sutra yang ‘sudah’, ‘sedang’ dan ‘akan’ dikhotbahkan.
Lebih lanjut mereka juga mengatakan bahwa segala Sutra selain Saddharmapundarika-sutra mudah dipercaya dan mudah dimengerti karena merupakan ajaran Zuita-i; sedangkan Saddharmapundarika-sutra sulit dipercaya dan sulit dimengerti karena merupakan ajaran Zuiji-i. Mengenai Zuita-i dan Zuiji-i akan diuraikan dalam tanya jawab selanjutnya.
MENJELASKAN MENGAPA SUTRA LAIN MUDAH DIPERCAYA DAN MUDAH DIMENGERTI SEDANGKAN SADDHARMAPUNDARIKA-SUTRA SULIT DIPERCAYA DAN SULIT DIMENGERTI
Apakah Maksud keterangan ini?
Keterangan :
Di sini berdasarkan kata-kata Mahaguru Dengyo yang telah dikutip di atas, Niciren Daisyonin menjelaskan bahwa suatu ajaran mudah dipercaya dan mudah dimengerti karena ajaran Zuita-i, sebaliknya suatu ajaran sulit dipercaya dan sulit dimengerti karena ajaran Zuiji-i. Selanjutnya Beliau mengemukakan pandangan-pandangan dari suatu aliran agama Buddha yang di Jepang disebut Mikkyo ( secara harfiah berarti ajaran rahasia). Menurut Mazhab Shingon, segala ajaran yang dikhotbahkan oleh Sang Buddha Sakyamuni. Yang nyata sebagai Nirmanakaya atau Ojin adalah Kenkyo (ajaran nyata). Tetapi segala ajaran yang dikhotbahkan oleh Thatagata Mahavairocana yang merupakan Buddha Dharmakaya atau Hossin adalah Mikkyo (ajaran rahasia) yang sulit dipahami sehingga lebih tinggi daripada Kenkyo.
Pada zamannya Niciren Daisyonin, ajaran Mikkyo ini dianut oleh dua mazhab, yaitu pertama, mazhab Shingon yang berpusat di kuil To; dan kedua, mazhab Tien-tai yang belakangan ini mulai dipengaruhi ajaran Mikkyo ini. Menurut mazhab Shingon, Saddharmapundarika-sutra memang merupakan ajaran yang sulit dipercaya dan sulit dimengerti di antara ajaran kenkyo, tetapi kalau dibandingkan dengan ajaran Mikkyo, maka ia pun merupakan ajaran yang mudah dipercaya dan mudah dimengerti.
Selanjutnya mazhab Tien-tai di Jepang juga mulai terpengaruh oleh ajaran Mikkyo dari Mazhab Shingon, terutama pada waktu dipimpin oleh Bhikku Tertingginya yang ketiga, Jikaku, dan yang kelima, Chisho. Niciren Daisyonin amat prihatin terhadap keadaan mazhab Tien-tai di Jepang saat itu, sehingga Beliau secara tegas mengecam penyelewengan yang terjadi pada mazhab tersebut dalam berbagai Gosyo.
Menurut mazhab Tien-tai yang telah terpengaruh ajaran Mikkyo ini, baik Saddharmapundarika-sutra maupun Sutra Mahavairocana adalah ajaran yang sulit dipercaya dan sulit dimengerti, tetapi Sutra Mahavairocana adalah yang paling sulit dipercaya dan sulit dimengerti.
Kedua macam pandangan yang telah disebutkan di atas ini mempunyai satu persamaan, yaitu berusaha untuk memastikan Sutra Mahavairocana sebagai ajaran yang lebih sulit dipercaya dan dimengerti daripada Saddharmapundarika-sutra, maka dalam kutipan di atas pertama-tama Niciren Daisyonin mengatakan bahwa kedua pandangan tersebut telah menjadi pandangan umum di kalangan umat Buddha Jepang saat itu, tetapi selanjutnya Beliau mengatakan bahwa Sutra Mahavairocana memang sulit dipercaya dan sulit dimengerti bila dibandingkan dengan ajaran Theravada, tetapi mudah dipercaya dan mudah dimengerti bila dibandingkan dengan Mahaprajna-paramitha-sutra.
Tingkatan-tingkatan perbandingan yang diambil oleh Niciren Daisyonin di sini lebih luas wawasannya. Pertama-tama Beliau mengatakan bahwa filsafat non Buddhis yang tidak menjelaskan Hukum Sebab Akibat kejiwaan adalah mudah dimengerti dan mudah dipercaya, sebaliknya ajaran Theravada yang termasuk filsafat agama Buddha adalah sulit dipercaya dan sulit dimengerti. Tetapi ajaran Theravada ini pun kalau dibandingkan dengan ajaran Sutra Mahavairocana, adalah mudah dipercaya dan mudah dimengerti, sedangkan ajaran Sutra Mahavairocana sulit dipercaya dan sulit dimengerti karena termasuk ajaran Mahayana.
Di dalam ajaran Mahayana sendiri, kalau Sutra Mahavairocana dibandingkan dengan Mahaprajna-paramitra-sutra, maka Sutra Mahavairocana mudah dipercaya dan mudah dimengerti, sementara Mahaprajna-paramitra-sutra sulit dipercaya dan sulit dimengerti. Dan selanjutnya Mahaprajna-paramitra-sutra ini dibandingkan dengan Sutra Avatamsaka. Disini perlu kita pahami penggolongan ajaran agama Buddha yang dilakukan oleh Tien-tai, yang menggolongkan seluruh ajaran agama Buddha menjadi empat macam / tingkatan ajaran : Zokyo, Tsukyo, Bekkyo dan Enkyo.
- Ajaran Zokyo adalah ajaran Theravada, yaitu ajaran yang hanya menerangkan Hukum Sebab Akibat dalam Enam Dunia. Ajaran ini melihat Hakekat segala sesuatu sebagai sunyata, dan mengutamakan kaum Sravaka dan Pratyekabuddha, sementara pembinaan kaum Bodhisattva hanya dilakukan sebagai sampingan.
- Ajaran Tsukyo adalah pintu pertama ajaran Mahayana. Disebut Tsukyo karena ia menjadi perantara/jembatan antara ajaran Zokyo dan Bekkyo ( Tsu berarti perantara; Kyo adalah ajaran). Ajaran ini pun hanya menjelaskan hal-hal enam dunia seperti halnya ajaran Zokyo tetapi menurut ajaran ini hakekat dari segala sesuatu adalah sunyata, tetapi di dalam kesunyataan itu ada hal-hal yang bukan sunyata. Ajaran ini dipelajari oleh Tiga Dunia Suci, tetapi khususnya ditujukan kepada kaum Bodhisattva.
- Ajaran Bekkyo khusus menerangkan pertapaan kaum Bodhisattva yang di luar Enam Dunia, tetapi pertapaan yang dijelaskan disini adalah pertapaan yang memerlukan waktu berkalpa-kalpa lamanya. Ajaran ini menerangkan Tiga Hakekat (Santai) yang terpisah-pisah. Sehingga Kesesatan Pandangan dan Pikiran (Kenjiwaku) dianggap sebagai kesesatan Kutai dari manusia Enam Dunia. Kemudian kesesatan Hawa nafsu dianggap sebagai kesesatan Ketai, sedangkan kesesatan Pokok Jiwa dianggap sebagai kesesatan Chutai. Ajaran ini khusus ditujukan kepada Bodhisattva dan tidak untuk Sravaka dan Pratyekabuddha.
- Ajaran Enkyo adalah ajaran yang melampaui Enam Dunia, dan menjelaskan Tiga Hakekat (Santai) yang saling mencakup secara utuh. Enkyo berarti ajaran yang bulat sempurna, karena di dalam ajaran ini baik Tiga Hakekat, Sepuluh Dunia, Sepuluh Nyoze maupun Tiga Ribu perbedaan semuanya telah tercakup secara utuh dan bulat, Enkyo ada dua macam, yaitu Enkyo Saddharmapundarika-sutra dan Enkyo sebelum Saddharmapundarika-sutra (Nizenkyo). Di dalam ajaran-ajaran sebelum Saddharmapundarika-sutra juga ada yang bersifat Enkyo, karena ada juga ajaran yang mengatakan bahwa seorang manusia biasa dapat mencapai Kesadaran Buddha tanpa melalui berbagai tingkatan, dan ada pula yang mengatakan bahwa seorang manusia biasa dapat mencapai kesadaran Buddha tanpa memutuskan hawa nafsunya. Jadi pada dasarnya penggolongan Empat Ajaran ini bertolak dari suatu pandangan bahwa kesadaran tertinggi Sang Buddha adalah melihat Tiga Hakekat (Santai) sebagai satu kesatuan yang utuh dan terpadu, sehingga tatkala Sang Buddha dengan kesadarannya yang demikian berusaha untuk membina umat manusia, maka timbullah empat macam ajaran, sesuai dengan bakat umat manusia yang berbeda-beda.
Dengan dasar penggolongan serupa ini dapatlah kita lihat bahwa Sutra Avatamsaka mempunyai sifat ajaran Enkyo dan Bekkyo, tetapi ia tidak mempunyai sifat Tsukyo, sehingga Sutra Avatamsaka lebih sulit dipercaya dan dimengerti jika dibandingkan dengan ajaran Mahaprajna-paramitha-sutra yang masih mempunyai sifat Tsukyo di samping sifat Enkyo dan Bekkyo. Tetapi Sutra Avatamsaka ini pun masih lebih mudah dipercaya dan dimengerti jika dibandingkan dengan Sutra Nirvana yang sebagian memiliki sifat Enkyo murni dan tidak lagi memiliki sifat Bekkyo. Sekalipun demikian Sutra Nirvana ini kalau dibandingkan dengan Saddharmapundarika-sutra, maka ia masih juga mempunyai bagian-bagian yang dipengaruhi oleh ajaran : Zokyo, Tsukyo, dan Bekkyo. Sehingga bagaimana pun juga lebih mudah dipercaya dan dimengerti daripada Saddharmapundarika-sutra yang merupakan ajaran Enkyo murni.
Selanjutnya di dalam Saddharmapundarika-sutra sendiri, bagian Shakumon tidak menjelaskan hakekat jiwa Buddha Kuon Ganjo, tetapi bagian Honmon menjelaskannya, sehingga Shakumon mudah dipercaya dan dimengerti tetapi Honmon sulit dipercaya dan sulit dimengerti. Kemudian meskipun dalam kalimat Gosyo ini tidak diungkapkan, menurut maksud Niciren Daisyonin, di dalam Honmon sendiri ada ajaran Honmon yang tersurat dan bersifat ajaran pemanenan. Ini lebih mudah dipercaya dan mudah dimengerti, jika dibandingkan dengan ajaran Honmon yang tersirat dan bersifat pembibitan, yaitu Nammyohorengekyo dari Ketiga Hukum Rahasia Agung yang terpendam pada dasar kalimat Bab “Panjangnya Usia Sang Tathagata” atau Juryohon. Inilah sebenarnya ajaran yang paling sulit dipercaya dan sulit dimengerti.
PENTINGNYA MEMAHAMI PERBEDAAN AJARAN ZUIJI-I DAN AJARAN ZUITA-I
Apakah manfaatnya kita memahami pengertian ini?
Keterangan:
Di sini pertama-tama diajukan sebuah pertanyaan apa manfaatnya kita menggolong-golongkan seluruh ajaran agama Buddha menjadi ajaran Zuiji-i yang sulit dimengerti dan sulit dipercaya, dan ajaran Zuita-i yang mudah dipercaya dan mudah dimengerti. Sebagai jawabannya Niciren Daisyonin menulis : “ajaran ini adalah tidak lain dari pelita agung yang menerangi kegelapan malam hidup dan mati yang amat panjang, serta pedang sakti yang dapat menembus kesesatan pokok jiwa manusia atau Gampon no Mumyo.
Maksud Niciren Daisyonin di sini adalah bahwa untuk mengenal Sutra yang menerangkan jalan langsung pencapaian Kesadaran Buddha, maka amat penting bagi kita untuk membedakan ajaran Zuiji-i dan Zuita-i, serta melihat tinggi rendah dan sulit mudahnya ajaran berbagai Sutra. Selanjutnya dalam kutipan di atas juga sekaligus Niciren Daisyonin menjelaskan makna Zuiji-i dan Zuita-i, kemudian Beliau menegaskan bahwa Sutra-sutra seperti Sutra Mahavairocana, Sutra Avatamsaka, Sutra Nirvana dan sebagainya adalah Sutra Zuita-i.
Ajaran ini adalah tidak lain dari pelita agung yang menerangi kegelapan malam hidup dan mati yang amat panjang, serta pedang sakti yang dapat menembus Kesesatan Pokok Jiwa manusia atau Gampon no Mumyo.
Keterangan:
Dalam kalimat ini Niciren Daisyonin menyebutkan penderitaan jiwa manusia selama berkali-kali hidup dan mati sebagai “Kegelapan malam hidup dan mati yang amat panjang”. Sedangkan Kesesatan Pokok Jiwa atau Gampon no Mumyo adalah suatu kesesatan yang memang sudah ada dalam jiwa manusia sejak asal mulanya, dan oleh karena adanya kesesatan inilah umat manusia harus menderita dalam kegelapan malam hidup dan mati yang amat panjang. Dengan kata lain Kesesatan Pokok Jiwa adalah ‘sebab’, kegelapan malam hidup dan mati yang amat panjang adalah ‘akibat’nya. Maka untuk mengenal ajaran agama Buddha yang mengajarkan jalan untuk merombak Kesesatan Pokok Jiwa dan jalan langsung Pencapaian Kesadaran Buddha, kita harus membedakan ajaran Zuiji-i dan Zuita-i.
Secara tersirat sebenarnya di sini Niciren Daisyonin mengajarkan bahwa justru ajaran Tiga Hukum Rahasia Agung yang terpendam pada dasar kalimat Bab Panjangnya Usia Sang Tathagata Saddharmapundarika-sutra, adalah jalan langsung untuk mencapai kesadaran Buddha, serta pelita agung dan pedang sakti yang dimaksudkan dalam kalimat di atas. Ini berarti justru Gohonzon Nammyohorengekyo dari ketiga Hukum Rahasia Agung yang diwujudkan oleh Niciren Daisyonin sebagai tujuan kelahirannya, merupakan pelita agung yang menerangi kegelapan penderitaan hidup mati, serta pedang sakti yang dapat memutuskan dan merombak segala kesesatan jiwa manusia untuk menjadi Kesadaran Pokok Jiwa (Gampon no Hossyo).
ZUIJI-I DAN ZUITA-I
Dalam kalimat di atas, perbedaan pengertian Zuiji-i dan Zuita-i diungkapkan dengan suatu perumpamaan.
Pertama-tama dikatakan : “Sutra-sutra yang dikhotbahkan Sang Buddha sesuai dengan kehendak umat manusia Sembilan Dunia disebut ajaran Zuita-i. Sebagai umpama, sama seperti seorang ayah yang bijaksana, yang sengaja menuruti kehendak anaknya yang bodoh.”Ini berarti ajaran Zuita-i dikhotbahkan oleh Sang Buddha sesuai dengan bakat dan selera umat manusia, sehingga ajaran ini merupakan suatu upaya untuk menuntun umat manusia kepada suatu ajaran Sang Buddha yang menerangkan kesadaran yang sebenarnya. Seluruh Sutra sebelum Saddharmapundarika-
sutra tergolong ajaran Zuita-i ini.
Sebagai umpama, Niciren Daisyonin mengatakan di sini bahwa untuk membimbing seorang anak yang bodoh, seorang ayah yang bijaksana seringkali tidak secara langsung mengutarakan maksudnya, melainkan ia untuk sementara menuruti kehendak anaknya, agar sedikit demi sedikit kepada sang anak dapat ditanamkan pengertian yang tepat. Oleh karena sifat ajarannya yang demikian, sudah pasti ajaran Zuita-i ini lebih mudah dipercaya dan dimengerti bagi umat manusia.
Selanjutnya Niciren Daisyonin mengatakan : “Sutra-sutra yang dikhotbahkan Sang Buddha dengan menuruti Dunia Buddhanya disebut ajaran Zuiji-i. Hal ini sama seperti seorang ayah yang bijaksana menyuruh anaknya yang bodoh untuk mengikuti dirinya”. Jadi ajaran Zuiji-i adalah ajaran yang mengungkapkan kesadaran Sang Buddha sebagaimana adanya. Ajaran ini bukan lagi merupakan ajaran sementara, melainkan suatu ajaran yang sebenarnya, yaitu Saddharmapundarika-sutra. Karena justru dalam Saddharmapundarika-sutra ini Sang Buddha Sakyamuni telah berusaha untuk menerangkan suatu kesadaran serta prajna yang dapat membuat seluruh umat manusia mencapai Kesadaran Buddha,
Pada bagian awal dari Saddharmapundarika-sutra, tegasnya dalam Bab ke-2 yang berjudul ‘Upaya Kausalya’, Buddha Sakyamuni bangkit dari samadhinya secara tenang dan tanpa ditanya Beliau berkata kepada Sariputra : “Prajna para Buddha amat dalam dan tak terbatas. Pintu prajnanya amat sulit dimengerti dan dimasuki. Segala Sravaka dan Pratyekabuddha tidak mampu memahaminya”. Prajna para Buddha berarti prajna yang dimiliki oleh setiap Buddha, sehingga setiap manusia yang berhasil memperoleh prajna tersebut pasti dapat mencapai Kesadaran Buddha. Jadi kalimat ini sebenarnya menunjukkan bahwa Budha Sakyamuni telah mewujudkan prajna dan kesadaran yang tertinggi ini, yang sanggup membuat seluruh umat manusia mencapai Kesadaran Buddha dalam Saddharmapundarika-sutra.
Sedangkan Buddha Niciren Daisyonin menulis dalam Surat membuka Mata : “ Ajaran Icinen Sanzen terpendam secara rahasia, pada dasar kalimat Bab ’Panjangnya Usia Sang Tathagata’ dari bagian Honmon Saddharmapundarika-sutra”. Jadi disini Niciren Daisyonin pun mengatakan bahwa sebab pokok untuk mencapai Kesadaran Buddha, yaitu Hukum Nammyohorengekyo Yang Maha Esa, terdapat secara terpendam atau tersirat pada dasar kalimat Saddharmapundarika-sutra. Dan hukum ini oleh Beliau telah diwujudkan sebagai Gohonzon yang dapat diterima dan dipertahankan oleh seluruh umat manusia masa Akhir Dharma.
Hukum Tunggal yang terpendam pada dasar kalimat Saddharmapundarika-sutra sesungguhnya telah diterangkan oleh Tien-Tai sebagai Hukum Icinen Sanzen dan Hukum Icinen Sanzen ini oleh Niciren Daisyonin diwujudkan sebagai Gohonzon, agar seluruh umat manusia masa Akhir Dharma yang berbakat rendah segera dapat menerima dan mempertahankannya serta memasrahkan jiwa kepadaNya. Maka dalam salah satu Gosyo juga dikatakan :” Kepada mereka yang tidak mengenal Hukum Icinen Sanzen, Sang Buddha membangkitkan welas asih agungnya dan membalut permata ini dalam kelima huruf (Myohorengekyo), lalu mengalungkannya pada leher umat manusia masa Akhir Dharma yang rendah bakatnya.”(Gosyo, hal 254)
Dengan menggunakan perumpamaan, Niciren Daisyonin juga menjelaskan dalam kalimat di atas, bahwa ajaran Zuiji-i adalah sama seperti seorang ayah bijaksana yang tidak menuruti kehendak anaknya, tetapi menyuruh anaknya untuk mengikuti dirinya. Oleh sebab itulah ajaran Zuiji-i ini sulit dipercaya dan sulit dimengerti bagi umat manusia. Demikianlah perbedaan antara ajaran Zuiji-i dan Zuita-i, perbedaan antara ajaran yang mudah dan sulit, adalah amat penting untuk kita pahami, karena dengan pengertian ini kita dapat melihat tinggi-rendahnya ajaran suatu Sutra, serta kita dapat menentukan ajaran mana yang sanggup membina umat manusia kepada pencapaian Kesadaran Buddha secara langsung.
BUKTI TERTULIS BAHWA SUTRA LAIN ADALAH AJARAN ZUITA-I
Apakah buktinya bahwa Sutra-sutra tersebut merupakan ajaran Zuita-i?
Keterangan:
Di sini Niciren Daisyonin mengemukakan bukti tertulis bahwa segala Sutra seperti, Sutra Mahavairocana, Sutra Avatamsaka, Sutra Nirvana dan sebagainya adalah ajaran Zuita-i, sekaligus juga membuktikan bahwa Saddharmapundarika-sutra adalah ajaran Zuiji-i. Sebagai bukti bahwa segala Sutra lain merupakan ajaran Zuita-i dikutip kalimat Srimala Sutra. Kemudian sebagai bukti bahwa Saddharmapundarika-sutra merupakan ajaran Zuiji-i dikutip juga salah satu kalimat Bab Dharma Duta Saddharmapundarika-sutra. Sesudah Beliau mengemukakan bukti tertulis dari kedua ajaran ini, sekali lagi Beliau menerangkan perbedaan Zuiji-i dan Zuita-i secara mudah.
Dari kutipan kalimat Srimala Sutra dapatlah kita lihat bahwa pada dasarnya segala Sutra lain merupakan ajaran-ajaran yang disesuaikan dengan bakat dan selera umat manusia, tetapi Saddharmapundarika-sutra diterangkan kepada segala macam umat pendengar. Inilah perbedaan pokok antara Saddharmapundarika-sutra dengan sutra-sutra lainnya. Ajaran Sang Buddha Sakyamuni selama 50 tahun, memang didasari satu konsistensi yang utuh, tetapi dalam proses membina umat manusia dari bakat yang rendah menuju bakat yang lebih tinggi terjadi berbagai penyesuaian dalam kata-kata dan isi ajaran Sang Buddha. Kesadaran Sang Buddha tetap sama, tetapi kata-katanya disesuaikan dengan bakat umat manusia yang sedang dihadapi.
Pengkhotbahan Sang Buddha Sakyamuni selama 50 tahun bertujuan untuk membina orang-orang Sravaka, Pratyekabuddha serta manusia biasa dari Enam Dunia, agar mereka dapat mencapai kesadaran Buddha. Adapun maksud dari pembinaan Beliau ialah meningkatkan taraf kejiwaan mereka sedikit demi sedikit agar pada akhirnya mereka dapat mencapai Kesadaran Buddha dalam pengkhotbahan Saddharmapundarika-sutra. Di antara umat yang dibimbing Sang Buddha pada waktu itu, kaum Sravaka dan Pratyekabuddha dianggap mempunyai bakat yang terendah di antara manusia biasa lainnya, karena mereka yang seharusnya lebih unggul daripada yang lain ternyata tidak seberapa berbeda dalam hal kesadaran dan suasana jiwa keagamaan. Dasar dari agama Buddha memang bukan teori filsafatnya, melainkan kesadaran dan perasaan jiwa yang melampaui itu semua. Hal mana dapat pula disebut sebagai suasana jiwa keagamaan.
Mazhab Shingon dan mazhab Jodo yang tersebarluas di Jepang semasa kehidupan Niciren Daisyonin memang bukan merupakan kesadaran Sang Buddha itu sendiri, melainkan suatu ajaran yang merupakan proses untuk menuju kepada kesadaran. Sehingga ajaran ini tidak lebih dari ajaran Zuita-i yang disesuaikan dengan bakat umat manusia. Dan justru Niciren Daisyonin yang mewujudkan kesadaran Buddha Sakyamuni dalam pelaksanaan yang nyata. Di zaman apa pun juga, suatu pemikiran yang merintis suatu pembaharuan pasti mendapat banyak tantangan. Apalagi agama Buddha yang mengajarkan dasar kehidupan manusia sudah pasti mendapat penindasan yang amat besar di Jepang saat Niciren Daisyonin hidup, karena masyarakat saat itu masih kuat sifat feodalisme yang membedakan manusia yang satu dengan yang lain. Di dalam suatu masyarakat feodal, ajaran Saddharmapundarika-sutra yang menganggap semua jiwa manusia sama mulia dan agungnya pasti mendapat berbagai penindasan. Buddha Sakyamuni yang berasal dari keluarga bangsawan saja mengalami Sembilan Macam Penindasan, maka murid-murid Sang Buddha sesudah kemokshaannya sudah pasti harus mempunyai persiapan hati untuk menghadapi kesulitan yang lebih besar. Hal ini dinyatakan dalam setiap kalimat Saddharmapundarika-sutra
Memang ada beberapa orang yang benar-benar membaca dan melaksanakan Saddharmapundarika-sutra setelah kemokshaan Sang Buddha, tetapi tidak ada satu pun di antaranya yang menerima kesulitan yang lebih besar daripada Buddha Sakyamuni. Hal ini disebabkan karena bagaimana pun juga mereka tidak menjalankan agama Buddha secara tepat sebagaimana yang diajarkan dalam Saddharmapundarika-sutra. Tien-Tai dan Dengyo telah memberi penjelasan ajaran Saddharmapundarika-sutra dan sebagian diantaranya telah dijalankan oleh mereka sendiri. Dengan itu saja mereka sudah dicela orang, apalagi kalau benar-benar berusaha untuk menyelamatkan masyarakat, seperti yang dilakukan oleh Niciren Daisyonin. Dalam arti ini, sebenarnya tidak ada seorang pun yang menjalankan ajaran Saddharmapundarika-sutra secara tepat sebelum kemunculan Niciren Daisyonin. Dalam Bab ‘Anjuran Untuk Mempertahankan’ dalam Saddharmapundarika-sutra dikatakan bahwa seorang pelaksana Saddharmapundarika-sutra pasti akan menghadapi Tiga Musuh yang kuat. Dalam Bab ‘Bodhisattva Sadaparibhuta’ diuraikan bahwa Bodhisattva Sadaparibhuta dianiaya dengan tongkat, kayu dan batu. Sedangkan dalam Bab ‘Munculnya Stupa Pusaka’ dikatakan bahwa ada Enam Hal yang sulit dan Sembilan hal yang Mudah. Dari uraian ini dapatlah kita mengerti bahwa kesulitan mempertahankan Saddharmapundarika-sutra disebabkan karena sulitnya penyebarluasan Sutra ini. Jadi sebenarnya kalimat-kalimat ini bukan hanya menyatakan kesulitan untuk percaya dan melaksanakan ajaran Saddharmapundarika-sutra, tetapi lebih dari itu, menuntut dan mengajarkan betapa sulitnya penyebarluasan Saddharmapundarika-sutra sesudah kemokshaan Sang Buddha.
Dalam Salah Satu Gosyo pernah Niciren Daisyonin menulis : “Pengertian Saya mengenai Saddharmapundarika-sutra tidak ada seper-seribunya Tien-Tai dan Dengyo, tetapi terhadap kekuatan Saya dalam ketabahan mengatasi kesulitan serta keunggulan Saya dalam welas asih, mereka pun pasti akan gentar.” (Gosyo hal 202). Tien-Tai telah menyusun teori Icinen Sanzen secara sistematik dalam tiga karangan utamanya, dan Dengyo pun tidak lebih kecil jasanya, tetapi bagaimana pun mendalamnya teori-teori mereka, welas asih Niciren Daisyonin yang melaksanakan setiap kata dan kalimat Saddharmapundarika-sutra untuk menyelamatkan seluruh umat manusia, bukan bandingan mereka. Dalam ajaran pokok agama Buddha, terutama dalam Saddharmapundarika-sutra, hal yang terpenting adalah tidak lain dari usaha untuk menyelamatkan seluruh umat manusia. Hal ini jelas tampak pada motivasi Sang Buddha Sakyamuni untuk meninggalkan istana kerajaan dan memasuki pertapaan. Bagaimanapun unggulnya teori seseorang tanpa adanya pengabdian nyata terhadap umat manusia, ia tidak dapat disebut sebagai seorang umat Buddha.
Dalam kalimat Gosyo diatas, Niciren Daisyonin menegaskan bahwa Saddharmapundarika-sutra adalah ajaran Zuiji-i yang sulit dipercaya dan sulit dimengerti, sehingga ia merupakan ajaran yang dapat membuat seluruh umat manusia mencapai kesadaran Buddha. Dan untuk melaksanakan seluruh ajarannya serta untuk menyelamatkan seluruh umat manusia, Niciren Daisyonin mewujudkan Saddharmapundarika-sutra sebagai Gohonzon.
MENJELASKAN BAHWA SADDHARMAPUNDARIKA-SUTRA ADALAH SUMBER POKOK SEGALA SESUATU
Tetapi entah kenapa, setiap orang percaya pada ajaran Kobo, Jikaku dan Chisho, sehingga pengertian di atas telah tenggelam dan tersembunyi di Jepang selama 400 tahun. Hal ini sama seperti menukar permata dengan batu kerikil, menukar kayu cendana dengan kayu yang usang. Agama Buddha telah diputarbalikkan seperti ini, sehingga masyarakat menjadi kacau dan keruh. Agama Buddha ibarat tubuh, masyarakat ibarat bayangannya. Apabila tubuhnya bengkok, bayangan akan miring. Tetapi alangkah bahagianya Saya dan murid-murid Saya, karena kita pasti akan mencapai lautan Sarvajnata sesuai dengan kehendak Sang Buddha. Sedangkan para sarjana masyarakat umum yang percaya pada ajaran Zuita-i pasti akan tenggelam di dalam lautan penderitaan.
Keterangan :
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, justru Saddharmapundarika-sutra yang merupakan ajaran Zuiji-i serta sulit dipercaya dan sulit dimengerti merupakan ajaran pencapaian kesadaran Buddha bagi segenap umat manusia, tetapi banyak orang yang terkecoh oleh ajaran Kobo, Jikaku dan Chisho yang bersifat Zuita-i serta mudah dipercaya dan mudah dimengerti, sehingga selama 400 tahun lamanya negara Jepang berada dalam keadaan “menukar permata dengan batu kerikil, menukar kayu cendana dengan kayu yang usang”. Di sini Saddharmapundarika-sutra diumpamakan sebagai permata dan kayu cendana, sementara sutra-sutra lain seperti sutra Mahavairocana diumpamakan sebagai batu kerikil dan kayu yang usang.
Oleh karena rakyat Jepang saat itu tidak mendasarkan kepercayaannya pada ajaran Zuiji-i, melainkan pada ajaran Zuita-i, maka agama Buddha telah diputarbalikan sehingga masyarakat semakin kacau dan keruh. Hal ini diungkapkan oleh Niciren Daisyonin :”Agama Buddha ibarat tubuh, masyarakat ibarat bayangannya. Apabila tubuhnya bengkok, bayangan akan miring”, Disinilah Niciren Daisyonin menjelaskan sumber dari segala malapetaka dan bencana. Sebagai penutup Niciren Daisyonin menegaskan bahwa barang siapa yang menganut ajaran Zuita-i akan tenggelam ke dalam lautan penderitaan, tetapi Beliau dan murid-muridnya pasti mencapai Kesadaran Buddha karena sesuai dengan kehendak Sang Buddha yang sebenarnya.
Agama Buddha ibarat tubuh, masyarakat ibarat bayangannya, Apabila tubuhnya bengkok, bayangan akan bengkok. Dengan kalimat ini Niciren Daisyonin menyatakan bahwa agama Buddha tidak pernah dapat terpisah dari gejala-gejala masyarakat. Benar salahnya pelaksanaan agama Buddha akan menentukan sejahtera tidaknya suatu masyarakat. Inilah semangat Rissho Ankoku (Menegakkan filsafat yang benar untuk menyelamatkan masyarakat), yang mendasari seluruh kehidupan Niciren Daisyonin.
Seluruh usaha Niciren Daisyonin untuk menegakkan filsafat yang benar, bersumber dari semangat ini, dan merupakan perwujudan welas asih agung yang senantiasa memikirkan keselamatan bangsa dan tanah air serta seluruh umat manusia. Meskipun waktu dan zaman telah berubah, Hukum dan semangat ini tidak akan berubah sedikit juga. Maka sebagai murid Beliau, kita harus tetap mewarisi keyakinan dan semangat ini demi tercapainya masyarakat yang adil dan makmur di tanah air kita.