
Senin, 26 Maret 2018, bertempat di Kantor Pusat Persatuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) Grha Oikoumene Salemba, Jakarta Pusat, lembaga keumatan yang terdiri lembaga agama kristen yang diwakilkan oleh Persatuan Gereja-gereja seluruh Indonesia (PGI), lembaga umat Katholik yang diwakilkan oleh Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI), Lembaga Umat Buddha yang diwakilkan oleh Parisadha Buddha Dharma Niciren Syosyu Indonesia (NSI) yang dihadiri langsung oleh Ketua Umum NSI, Maha Pandita Utama (M.P.U) Suhadi Sendjaja, Lembaga umat Hindu yang diwakilkan oleh Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI), dan unsur agama Konghucu yang diwakilkan oleh Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (MATAKIN) meminta pemerintah menunda pengesahan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) mengingat dampaknya terhadap kehidupan umat beragama. Selain itu, pemerintah juga diminta agar melibatkan lembaga-lembaga keagamaan dan berbagai elemen masyarakat dalam pembahasan RKUHP.
RKUHP merupakan upaya pemerintah untuk menggantikan KUHP sekarang yang merupakan warisan Belanda. Upaya ini sesungguhnya sudah berlangsung lama, namun selalu mengalami penundaan. Saat ini, RKUHP tersebut dibahas oleh pemerintah dan DPR untuk disahkan. Dalam konteks ini, lembaga-lembaga keumatan mengingatkan pemerintah dan DPR akan bahaya Bab tindak pidana terhadap agama dan kehidupan beragama yang diatur dalam RKUHP.
Pada kesempatan ini Ketua Umum NSI, M.P.U Suhadi Sendjaja banyak memberikan masukan yang konstruktif dan proporsional, M.P.U Suhadi Sendjaja menyampaikan bahwa agama seharusnya yang memberi perlindungan pada semua aspek kehidupan, termasuk kepada negara, oleh karena itu, agama tidak perlu dilindungi, karena agama sudah kuat. Agama muncul karena kekuatannya yang luar biasa yang tidak ada pada yang lain. M.P.U Suhadi Sendjaja juga menyampaikan bahwa jangan sampai undang-undang ini malah dimanfaatkan oleh kelompok tertentu untuk melakukan sesuatu yang akhirnya menunjang keberhasilan kepentingan kelompok tersebut. Ini yang harus diwaspadai di dalam melakukan Pengesahan RKUHP.
Hal-hal ini bisa diantisipasi kalau pendirian dari seluruh pimpinan lembaga keumatan dan juga seluruh masyarakat Indonesia sama, bahwa agama tidak perlu dilindungi, karena agama semakin dihina semakin kuat. Agama sejak dahulu selalu dihina, nabi-nabi pendiri agama adalah orang-orang yang tahan hinaan, seorang Buddha itu dihina sejak mulai muncul sampai meninggal tidak pernah tidak dihina (termasuk mendapatkan penganiayaan), begitupun dengan Nabi Muhammad, Nabi Isa (Yesus) juga seperti itu.
Kemudian mengenai pasal yang berisi tentang kegiatan peribadatan, MPU Suhadi Sendjaja menyampaikan bahwa memang tidak akan terhindar bahwa bisa saja ada kegiatan-kegiatan keagamaan di dalam rumah pribadi, orang Buddha bisa merayakan ulang tahun di rumahnya dengan sembahyang di altar. Lalu umat Islam mengadakan ‘selametan’ tujuh hari kelahiran anaknya di rumah. Begitu juga orang Kristen, mungkin ada upacara yang serupa di rumah, hal-hal seperti itu memang tidak bisa terhindar. Oleh karena itu hal ini berbeda dengan apa yang diatur dalam Peraturan Bersama Menteri (PBM) Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 mengenai pedoman pelaksanaan tugas kepala daerah/wakil kepala daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan forum kerukunan umat beragama, dan pendirian rumah ibadat, di PBM memang ada rumah ibadah pribadi, seperti dalam agama Buddha ada Cetya, lalu dalam Islam ada Mushola, Kristen ada Kapel. Di rumah-rumah tersebut pasti tidak terhindar dari kegiatan-kegiatan keagamaan. Pada dasarnya kegiatan beragama itu baik. Oleh karena itu harus sangat hati-hati, jangan sampai orang lagi pesta ulang tahun pakai sembahyang, orang lagi selametan di rumah lalu digerebek. Itu berbahaya.
Dalam pernyataannya, Ketua Umum NSI, M.P.U Suhadi Sendjaja menyimpulkan, “Nah oleh karena itu kita harus membuat pernyataan bersama bahwa kita kelompok-kelompok daripada keumatan ini memang punya pendirian yang sama, justru kita semakin menyatukan diri itu untuk memberi perlindungan kepada negara. Nah kemudian adanya peraturan-peraturan yah untuk mengatur tindakan-tindakan orang-orang yang melawan hukum, mengganggu orang, itu kan melawan hukum termasuk mengganggu orang beribadah dan lain sebagainya. Oleh karena itu rancangan yang masih ada sekarang ini disarankan supaya bisa ditunda dulu pengesahannya, sehingga dengan demikian ketika sudah ada perbaikan yang tepat, undang-undang ini nantinya justru muncul memberikan kemaslahatan atau kegunaan bagi kehidupan bergama itu. Saya kira itu.”
Dalam pernyataan bersama tersebut ditegaskan bahwa lembaga Keumatan mengapresiasi usaha pemerintah dalam merancang KUHP, namun demikian mengkhawatirkan beberapa hal yang berkaitan dengan Delik Agama yang Mengancam Kehidupan Keagamaan & Toleransi. Cakupan ketentuan pidana yang menjadi catatan kritis para pimpinan lembaga keumatan meliputi, Bagian Kesatu: Tindak Pidana terhadap Agama (Pasal 348 – Pasal 350) yaitu (1) melakukan penghinaan agama (2) menyebarluaskan penghinaan agama melalui media tulisan, gambar, rekaman, dan melalui sarana teknologi informasi (3) melakukan tindak pidana yang sama dengan penghinaan agama sebelum lewat 2 tahun dari pemidanaan yang pertama (4) menghasut agar meniadakan keyakinan terhadap agama yang dianut sah di Indonesia.
Bagian Kedua: Tindak Pidana terhadap Kehidupan Beragama dan Sarana Ibadah (Pasal 351-Pasal 353) yaitu (1) Mengganggu atau merintangi dengan kekerasan kegiatan ibadah atau pertemuan keagamaan (2) Membuat gaduh di dekat bangunan tempat untuk menjalankan ibadah (3) Menghina orang atau pemimpin keagamaan yang menjalankan ibadah (4) Menodai, merusak, atau membakar bangunan sarana ibadah.
Menurut para pimpinan lembaga keumatan , rancangan pasal-pasal di atas masih bermasalah. Mengenai penghinaan agama, secara konseptual, penghinaan hanya bisa ditujukan kepada orang. Dan di dalam pasal 110 KUHP yang masih berlaku sampai saat ini, terdapat delik yang disebut delik subyektif, yang mensyaratkan ada subyek orang yang terhina. Sedangkan agama bukan subyek yang dapat merasa terhina. Jika delik penghinaan agama seperti dalam RKUHP dipertahankan, akan ada kesulitan dalam pembuktian, yaitu siapa yang berhak menentukan atau mewakili agama jika agama telah terhina. Pasal-pasal semacam ini bahkan berpotensi mengajarkan masyarakat untuk bersikap intoleran dan jauh dari pedoman Bhinneka Tunggal Ika.
Resolusi penghinaan agama (defamation of religion) pernah dibahas dalam sidang Majelis Umum PBB. Namun pada perkembangannya yang disepakati adalah resolusi tentang melawan intoleransi dan kebencian berdasarkan agama (Combating intolerance, negative stereotyping, stigmatization of, and discrimination, incitement to violence and violence against, persons based on religion or belief). Perubahan ini disepakati secara konsensus oleh seluruh anggota PBB, termasuk Indonesia, dengan kesadaran bahwa yang dimaksud dengan penghinaan agama, sesungguhnya adalah perbuatan intoleransi, pelabelan negatif, diskriminasi, dan hasutan kekerasan terhadap orang lain berdasarkan agamanya.
Resolusi ini sangat sejalan dengan Pasal 20 ayat 2 serta Pasal 18 ayat 3 Kovenan Hak Sipil dan Politik yang telah dijadikan hukum Indonesia dengan UU Nomor 12/2005.
Dengan demikian, rumusan pidana yang paling tepat dalam konteks ini seharusnya pidana terhadap perbuatan orang atau kelompok orang, berupa hasutan kebencian, stigma atau pelabelan negatif, baik secara lisan atau tertulis, melalui media audio atau visual termasuk teknologi informasi, yang bermaksud mendorong kekerasan, diskriminasi, atau permusuhan terhadap orang atau kelompok orang lain berdasarkan agamanya. Sebetulnya hal-hal tersebut sudah diatur di dalam RKUHP dalam bab terkait pidana terhadap golongan penduduk (pasal 289), yang rumusannya masih dapat diperbaiki.
Selanjutnya mengenai penghasutan agar meniadakan keyakinan terhadap “agama yang sah dianut di Iindonesia” (RKUHP Pasal 350) juga sangat problematis. Tidak ada satu UU pun yang menetapkan tentang agama apa saja yang dianut secara sah di Indonesia. Dan jika ketentuan semacam ini diadakan hal ini akan bermakna menundukkan agama di bawah negara, karena negara yang berhak mengatakan sah atau tidaknya suatu agama.