
Samanta Surya (berdiri ketiga dari kanan) sebagai delegasi NSI, perwakilan unsur agama Buddha dari Indonesia
Yangon, 22 Agustus 2019 - Isu seputar HIV/AIDS di dalam masyarakat Asia masih merupakan sebuah polemik yang belum terurai terutama dalam penanganan dan mengubah cara pandang masyarakat terhadap orang yang hidup dengan HIV dan AIDS. Pemahaman masyarakat terhadap penyakit ini pun masih dibayangi dengan stigma negatif terhadap penderitanya, tidak seperti penderita penyakit kanker atau diabetes misalnya. Penderita HIV/AIDS kerap mendapat penghakiman atau stigma negatif dari orang-orang di sekelilingnya yang belum tentu benar, akan tetapi jelas memberikan dampak buruk bagi penderita.
Isu ini menjadi salah satu perhatian utama dari organisasi keagamaan regional di Asia Christian Conference of Asia (CCA) melalui unit kerjanya Action Together in Combating HIV and AIDS in Asia (ATCHAA). Indonesia adalah salah satu negara di Asia Tenggara yang cenderung lambat dalam menangani HIV/AIDS dan menghadapi banyak polemik, baik dari segi kebijakan maupun sikap masyarakatnya sendiri. Di sisi lain, Myanmar melalui organisasi kemasyarakatan dan religinya cukup solid dan aktif dalam menangani HIV/AIDS, salah satunya melalui organisasi Myanmar Interfaith Network on AIDS (MINA). Indonesia pun memiliki organisasi serupa (Indonesia Interfaith Network on AIDS—Interna) namun saat ini kondisinya dorman/non-aktif karena fungsinya berimpitan dengan Kementerian Kesehatan RI.
Melihat fenomena ini CCA-ATCHAA berinisiatif untuk memfasilitasi pembelajaran (exchange learning) tokoh-tokoh agama di Indonesia ke Myanmar yang bertujuan untuk meningkatkan dan memperluas advokasi yang tepat terhadap isu HIV/AIDS di Indonesia melalui organisasi-organisasi keagamaan Islam, Kristen, Hindu, dan Buddha. NSI diundang mewakili agama Buddha, dengan delegasi Samanta Surya.
Acara berlangsung selama dua hari, 20-21 Agustus 2019 di Yangon. Hari pertama adalah perkenalan CCA-ATCHAA dan MINA. Pengurus dan anggota MINA terdiri dari para pemuka lintas agama Buddha, Kristen, Katolik, Hindu,dan Buddha yang turut aktif dalam memberikan pelayanan kepada pasien HIV/AIDS. Paparan kondisi kesehatan dan penanganan HIV di Myanmar disampaikan oleh Country Director of Marie Stopes Internasional Dr. Sid Naing, dan Country Director of UNAIDS-Myanmar Oussama Tawil. Sementara paparan cara kerja dan jejaring disampaikan oleh Sekretaris Jenderal MINA Khawn Taung.
Pada hari ke dua, peserta diajak untuk melihat langsung komunitas organisasi keagamaan yang merupakan anggota MINA; Gereja Katolik Good Sheperd Sisters Convent dan Biara Monastery Ashoka Rama Shwehinthar Yaylel yang menyediakan ruang persinggahan untuk pasien HIV/AIDS yang menjalani pengobatan ke rumah sakit. Biasanya mereka yang singgah adalah pasien yang rumahnya berada di luar kota Yangon. Mereka tidak memungut biaya dan menerima pasien tanpa membedakan agamanya. Hal ini adalah pembelajaran yang baik bahwa para pemuka agama mewujudkan nilai-nilai agama yang mereka yakini ke dalam gerakan kemanusiaan tanpa memandang status sosial dan perbedaan agama.
Persinggahan di Gereja Katolik Good Sheperd Sisters Convent rata-rata membantu 500 pasien per tahun. Tidak hanya pasien HIV/AIDS, tapi juga pasien penyakit kritis lainnya seperti kanker, diabetes, jantung, juga hipertensi. Peserta juga mengunjungi Ratana Metta Organization, organisasi Buddhis yang kegiatan utamanya berfokus pada isu kesehatan, perlindungan anak, dan pemberdayaan kualitas hidup. Di dalam organisasi ini terdapat para dokter dan relawan yang membantu melayani pasien HIV/AIDS dan memberikan donasi yang diperlukan.
Untuk menghasilkan sinergi antar umat beragama dalam menyelesaikan isu-isu sosial, umat beragama terlebih dahulu perlu menghargai pilihan keyakinan orang lain sehingga kerja sama antar umat beragama terjalin dengan lebih produktif dan tanpa prasangka. Organisasi dan komunitas agama diharapkan lebih pro-aktif dan inklusif terhadap isu HIV/AIDS dan turut andil dalam pencegahan dan penanganannya. ***